Jumat, 28 Mei 2010

Pedang Amarah

PEDANG AMARAH

Oleh: Tjan I.D

Bab 1. Bertemu salju lebih bersih, berjumpai badai lebih tegar.

Permulaan musim semi baru tiba, ketika Lui Tun berjalan keluar dari balik rimbunnya pepohonan menuju ke serambi panjang, diapun dapat menyaksikan bangunan loteng yang tinggi berdiri megah dibawah cahaya langit.

Memandang langit nan luas, menengok gelombang mega yang bersusun, bangunan loteng itu seolah berdiri menyendiri dibawah jagad raya. Tapi Lui Tun tahu siapa yang tinggal di situ. Dia ingin balas dendam. Dia ingin menghabisi nyawa orang yang berdiam dalam bangunan itu. Orang itu adalah So Bong-seng. So Bong-seng yang telah menghabisi nyawa ayahnya, So Bong-seng yang nyaris menikahi dirinya.

Oo0oo oo0oo

Wajah Lui Tun, seakan bertemu salju lebih bersih, berjumpa badai lebih tegar

Tempo dulu, dia senang memeluk khiem dan memetiknya ditepi sungai, tapi kini, dalam hatinya sudah tak memiliki senar, tak mampu memetikkan lagu lagi.

Oo0oo oo0oo

“Apakah anak Ji belum mau pulang?”

“Aaai! Bocah ini memang kelewatan. Pernah kuminta tolong seseorang untuk mengajaknya pulang. Akhir tahun berselang ia sempat pulang satu kali, muka nya nampak kucal, sikapnya acuh tak acuh, tiap hari ia bermurung durja, tak sampai lewat tahun baru, ia sudah ribut ingin berangkat lagi ke ibu kota. Dia..... mau dibilang baik atau buruk, aku sudah segan mengurusinya lagi”

“Tempo hari, sewaktu ia turun dari bukit siau-han-san, kusangka dia mau pulang menjenguk kalian, tak disangka....... ternyata ia benar benar pergi ke ibu kota untuk mengunjungi So Bong-seng, padahal..... ambisi So Bong-seng kelewat besar, kelewat membabi buta, cita citanya setinggi langit, cepat atau lambat dia pasti akan terlibas dalam pertikaian kekuatan terang dan gelap yang berlangsung di kotaraja. Anak Ji masih belum berpengalaman, diapun baru pertama kali mengunjungi kotaraja, kalau sampai terlibat dalam pertikaian ini, aku kuatir ia gampang teraniaya.......”

“Salah siapa dia enggan menuruti nasehat, tak mau menerima petunjuk orang, kalau sampai terjadi sesuatu, jangan salahkan orang lain. Suthay tak perlu menguatirkan nasib bocah ini, aku yakin dia banyak hoki dan berumur panjang, tak ada salahnya bila harus sedikit menderita, toh keliru besar bila kita selalu memproteksi dia, melindungi dirinya”

“Masih untung muridmu Bong-seng berilmu tinggi dan pandai berstrategi, dia tak malu disebut seorang jagoan hebat, asal mau menaruh perhatian sedikit saja terhadap anak Ji, aku percaya tak banyak orang di kotaraja yang tidak memberi muka kepadanya”

“Kungfu yang dimiliki Bong-seng memang tinggi, dia pandai mengatur strategi, sejak lahir memang sudah memiliki jiwa seorang pemimpin, tapi kalau dibilang kesemuanya itu hasil didikanku...... hehehe.... itu mah pengakuan lonie sambil tebalkan muka. Ilmu golok Hong-hun-si-yu-ang-siu-to miliknya sangat hebat, mungkin ini disebabkan sejak kecil ia berbadan lemah dan sakit sakitan hingga semua tenaga tersembunyinya malah terangsang keluar, ilmu goloknya boleh dibilang dingin, sadis dan aneh, kecepatan geraknya tak terkirakan. Kemampuannya sudah jauh melebihi kemampuan pinni dalam menggunakan ilmu golok ang-siu-to-hoat”

“Tak ada guru kenamaan yang gagal menghasilkan murid hebat, kionghi, kionghi!”

“Thayjin kelewat memuji. Justru pinni sengaja berkata begitu karena ingin menghindari dosa. Gara gara berhasil mendidik murid macam begini, badai berdarah tak terhindarkan lagi, yang pinni kuatirkan adalah melepas harimau itu gampang, yang susah kalau ingin menangkapnya kembali, pinni kuatir kemampuanku pun tak sanggup lagi untuk mengatasi pertikaian ini!”

“Aaah perkataan sinni kelewat serius. Biarpun So Bong-seng adalah locu dari kim-hong-si-yu-lo, menjadi pentolan Pakkhia diluar pemerintahan, tapi dalam kenyataan dia adalah seorang pimpinan yang adil, bijaksana, setia kawan dan membela kaum lemah, dia sangat ketat mengendalikan anak buahnya, belum tentu pimpinan macam begini suka berbuat jahat. Apalagi pengaruhnya bisa begitu meluas juga gara gara didukung secara diam diam oleh pihak pemerintah. Disaat tentara Kim mulai melanggar teritorial negara, disaat pertempuran bisa pecah setiap saat, pihak pemerintah sangat membutuhkan dukungan dan bantuan dari kaum gagah di sungai telaga. Sekarang So Bong-seng justru sedang menggalang kesatuan dan persatuan untuk menghadapi serangan luar, kebesaran jiwanya boleh dibilang sungguh mengagumkan, karena itu pertarungannya dengan pihak Lak-hun-poan-tong meski sepintas seperti pertarungan dua geng besar di Pakkhia untuk berebut pengaruh, padahal yang benar adalah pertikaian antara pihak yang mendukung pertempuran melawan agresor dan pihak yang menentang. Sekarang negara dalam kondisi lemah, masa kita akan persembahkan negara tercinta ini kepada pihak agresor dengan begitu saja? Memangnya kita akan mendukung kaum laknat yang Cuma memikirkan kejayaan dan kepentingan pribadi? Tindak tanduk So kongcu luar biasa, dia adalah seorang ksatria sejati, tidak malu disebut pendekar diantara pendekar”

“Tak nyana thayjin begitu memuji murid ku. Bong-seng memang keras kepala dan suka cari menangnya sendiri, napsu membunuhnya kelewat kuat. Mungkin sumbangsih dalam hal lain dia kurang, namun harus diakui dia memang cinta negara, mau peduli dengan keselamatan kerajaan. Padahal semua orang juga tahu kalau kota Pakkhia merupakan wilayah kekuasaan Mi-thian-jit-seng (tujuh rasul pembius langit), kelompok yang lebih cenderung menyerah kepada pihak musuh, kelompok penghianat negara. Kalau pertarungan dengan Lak-hun-poan-tong hanya pertarungan lokal, maka pertempuran melawan negara agresor akan menjadi petaka besar bagi seluruh rakyat negara. Harus diakui hanya orang orang Kim-hong-si-yu-lo yang rela kehilangan batok kepala dan bercucuran darah demi membela negara. Aaai! Puluhan tahun berselang, kota Pakkhia masih merupakan wilayah kekuasaan Mi-thian-jit-seng, dan sekarang....... segalanya telah berbalik”

“Sejujurnya, murid mu So Bong-seng memang musti diakui sebagai seorang pendekar sejati, buktinya jagoan tangguh seperti Lui Sun pun harus kehilangan nyawa ditangannya. Tatkala Mi-thian-jit-seng masih menguasai kotaraja sendirian, siapa sih yang tidak takut kepada mereka? Siapa yang tidak jeri menghadapi mereka? Bahkan Lak-hun-poan-tong sendiripun meski dengan susah payah mampu membendung pengaruh mereka, itupun sudah kewalahan setengah mati hingga boleh dikata tak ada kemampuan untuk menyerang balik. Tongcu Lak-hun-poan-tong waktu itu, Lui Ceng-lui sampai merasa perlu untuk mengundang dua jagoan tangguh untuk membantunya, yang satu adalah Lui Tin-hi, yang lain adalah Lui Sun.

“Lui Tin-hi adalah seorang jagoan dari Suchuan yang malang melintang dalam dunia persilatan dengan mengandalkan kekuatan bahan peledak dari keluarga Lui, dimana ia ciptakan sejenis senjata rahasia yang bisa meledak setiap saat, kemudian ia berhasil menguasai jago jago dari keluarga Tong hingga kemampuan senjata peledaknya makin hebat.

“Berbeda sekali dengan Lui Sun, dia beranggapan keliru besar jika keluarga Lui hanya mengandalkan ilmu jari dan ilmu bahan peledak untuk mengharumkan nama keluarga, dia merasa keluarga Lui perlu memandang lebih ke depan, membuka diri dalam pergaulan Bu-lim dan berkembang dengan cara lain. Itulah sebabnya mati matian dia berlatih diri dengan ilmu Kuai-man-kiu-ci-koat-hoat (sembilan huruf cepat dan lambat) dengan harapan bisa memberi sumber kekuatan baru bagi perguruan keluarga Lui, demi mensukseskan latihannya dia bahkan tak segan mengutungi jari tangan sendiri sebagai tanda kebulatan tekadnya, yaa...... sejujurnya sumbangsih ke dua orang ini terhadap Lak-hun-poan-tong dan perguruan Lui memang sangat luar biasa.

“Tapi kemudian Lui Sun dengan taktik ‘pinjam golok membunuh orang’ berhasil menjebak Lui Tin-hi hingga bentrok dengan Kwan Jit dari Mi-thian-jit-seng!

“Akibatnya Lui Tin-hi jadi cacad sedangkan Kwan Jit jadi setengah sinting, sementara Lui Sun dengan menggunakan taktik “merubah peperangan menjadi perdamaian” buru buru meminang adik kandung Kwan Jit yakni Kwan Siau-te menjadi bininya, karena perkawinan ini kelompok Lak-hun-poan-tong pun mendapat dukungan pengaruh dari Mi-thian-jit-seng, otomatis kekuasaannya makin meluas dan kuat. Agar bisa benar benar menjadi pemimpin tertinggi, mula mula dia pojokkan dulu Lui Ceng-lui hingga mati, kemudian memojokkan Kwan Siau-te, bininya hingga kabur, disamping itu secara diam diam dia pun berhubungan gelap dengan Lui Bi, putri tunggal Lui Ceng-lui. Boleh dibilang lelaki ini asli sebagai “Kalau tidak kejam bukan seorang lelaki sejati”.

“Gara gara kelewat kejam itulah musibah tragis yang harus dia tuai, padahal orang ini pandai menahan diri, tak mau sembarangan bertindak sebelum rencana matang, dia pandai menahan diri, pandai menyembunyikan kemampuan, sebetulnya manusia macam beginilah yang paling susah dicabut akarnya, paling sulit merobohkan kekuasaannya: ia telah berhasil menjatuhkan Lui Tin-hi, membuat Kwan Jit jatuh pecundang, membuat Lui Ceng-lui mampus, ketika semua hadangan berhasil disingkirkan satu per satu, waktu itu lo-locu dari Kim-hong-si-yu-lo pun sudah berangkat ke langit barat, apa mau dikata penggantinya So Bong-seng justru berhasil menguasai keadaan, bukan saja perkumpulan Kim-hong-si-yu-lo berhasil dikembangkan makin besar dan berpengaruh, bahkan berhasil melampaui kekuatan Lak-hun-poan-tong.

“Ternyata dalam keadaan seperti ini Lui Sun masih sanggup mengendalikan diri, sementara dia berbenah untuk mengatur siasat dan memperkuat posisi, sikapnya diluaran seakan tak berdaya untuk membendung serbuan lawan. So Bong-seng bukan orang bodoh, dia pun manfaatkan siasat itu dengan melakukan invasi, selangkah demi selangkah dia pojokkan pihak Lak-hun-poan-tong untuk melakukan duel habis habisan.

“Lui Sun bersikap macam orang tak bernyali dan ketakutan, dia mundur terus sambil mengalah, padahal malam sebelum hari pertempuran habis habisan dia lakukan sergapan untuk membokong lawannya. Sayang So Bong-seng berhasil menebak rencananya itu dan ikut melancarkan serangan lebih awal, sampai pada akhirnya........”

“Tapi kelihatannya kejadian inipun sudah dalam dugaan Lui Sun”

“Benar. Karena itulah berada didepan So Bong-seng, Lui Sun sengaja memerankan sandiwara “mati karena terbunuh”, padahal dibelakang layar dia perintahkan orang kepercayaannya Ti Hui-keng untuk membokongnya kemudian dia menerobos masuk ke dalam peti mati yang disangka orang lain sebagai tempat bersembunyinya jago lihay dan meledakkan diri. Padahal sesaat sebelum peti mati itu meledak, dia sudah kabur dulu melalui terowongan bawah tanah. Setelah itu dengan memanfaatkan kesempatan disaat musuh sedang memeriahkan pesta kemenangannya, dia dengan disertai jago paling hebat dari Lak-hun-poan-tong melakukan sergapan kilat. Tapi sayangnya.........”

“Tapi sayang pada detik terakhir semuanya berantakan. Ia pernah melakukan maksiat, jadi sudah sepantasnya mendapat imbalan yang pantas. Ternyata Lui Bi adalah Kwee Tang-sin, salah satu dari empat malaikat sakti dibawah pimpinan So Bong-seng, disaat yang paling kritis ia melapskan sebuah tusukan maut untuk membunuhnya”

“Kali ini Lui Sun benar benar mampus”

“Yaa, tapi kelompok Lak-hun-poan-tong tidak ambruk lantaran peristiwa itu”

“Disinilah letak kejelian Lui Sun, dia selalu mengutamakan masalah secara keseluruhan, dengan meninggalkan Toa-tongcu nya Ti Hui-keng di markas, meski akhirnya dia musti menemui ajalnya, namun Ti Hui-keng masih mampu memimpin sisa laskar Lak-hun-poan=-tong dan mengupayakan pembalasan dendam atas kematian dirinya”

“Menyisakan jalan mundur memang merupakan kelebihan yang dimiliki Lui Sun, kelebihan yang luar biasa”

“Orang kuno berkata: cabutlah rumput hingga seakar-akarnya, aku rasa persoalan ini merupakan luka telak yang mematikan Lui Sun, coba ia tega, tak nanti Lui Bi bakal berhasil menghabisi nyawanya untuk menuntut balas”

“Bagaimana pun Lui Sun telah menggunakan seseorang secara tepat”

“Maksudmu Ti Hui-keng?”

“Benar. Biarpun dia masih muda, namun kecerdasan otaknya luar biasa bahkan sangat setia terhadap Lui Sun. Setelah Lui Sun meninggal, semua orang mengira dia bakal mengerahkan segenap kekuatan untuk melakukan pembalasan dendam, siapa sangka ia justru tidak melakukan gerakan apa pun. Biar semua orang tahu kalau dia berniat balas dendam, tapi siapa pun tak ada yang bisa menduga dengan cara apa membuat pembalasan. Kini setahun sudah lewat, biarpun dikota raja sudah beredar kabar berita tentang buntungnya kaki So Bong-seng, namun Ti Hui-keng tetap tidak menunjukkan reaksinya. Malah ketika tersiar dengan santer tentang kondisi badan So Bong-seng yang kritis dan parah, Ti Hui-keng tetap tidak bereaksi. Siapa pun tak dapat menebak rencana hebat apa yang sebenarnya sedang ia persiapkan?”

“Mungkin dia sedang menunggu”

“Menunggu?”

“Menunggu kesempatan baik, kesempatan yang jauh lebih baik”

“Tapi orang persilatan selalu berpendapat bahwa kesempatan akan lenyap dengan begitu saja, jika harus menunggu lebih lanjut, masih adakah kesempatan itu? Dan mungkinkah akan muncul kesempatan?”

“Mungkin dia belajar dari pengalaman masa lalu, dimana nyaris tak ada yang tahu apakah Ti Hui-keng pandai bersilat atau tidak, kebanyakan orang menyangka tulang tengkuknya parah dan tubuhnya setengah lumpuh, sampai So Bong-seng mengutus Lui Kun dan Lim Koko untuk membunuhnya, duduk persoalan baru menjadi jelas, ternyata kungfu yang dimiliki memang luar biasa hebatnya”

“Tapi gara-gara peristiwa itu, Ti Hui-keng malah berhasil merekrut dua orang pembantu tangguh, Pui Heng-sau dan Thian-it-u-hong , aku dengar Thian-ie-u-hong adalah jago yang kau utus, benarkah begitu?”

“Benar. Thian-ie-uh-hong bukanlah manusia yang tak memiliki kemampuan, aku memang sengaja mengutusnya ke kotaraja untuk menjemput anak Ji, sejak awal sudah kuduga, ia pasti akan tinggal disana. Secara keseluruhan aku telah mengirim tiga orang menuju ke kotaraja, orang pertama adalah Tong Po-gou, salah satu diantara “Lima perampok ulung”, dia pun tak pernah balik sejak kepergiannya. Hanya adikmu Un-bun yang pada akhirnya berhasil menangkap balik putriku yang bandel itu, tapi......aaaai, sekalipun sudah tiba dirumah, tiap hari dia hanya melamun seperti orang kehilangan ingatan saja, aku rasa dia pasti akan berusaha untuk berkelana terus dalam dunia persilatan. Sudahlah, kalau memang begitu, biarkan saja dia berbuat sesuka hati”

“Masalah ini memang percuma dirisaukan, masih untung putrimu berwajah cerah dan toapan, dia pasti banyak hoki dan panjang umur, manusia seperti ini tak bakalan sampai menjumpai mara bahaya. Thayjin, tadi kau telah menyinggung soal sikap Ti Hui-keng yang menggunakan ketenangan untuk mengendalikan gejolak, mungkinkah saat ini dia sedang memantau persaudaraan antara So Bong-seng, Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik?”

“Tentang persoalan ini, aku punya pandangan lain, menurut aku nasib So Bong-seng jauh lebih beruntung karena sebelum melangsungkan pertarungannya melawan Lui Sun, ia bertemu lebih dulu dengan dua orang anak muda yang berilmu tinggi, Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik. Dengan begitu posisinya jadi jauh lebih beruntung. Bila sekarang Ti Hui-keng ingin menjatuhkan So Bong-seng, pertama-tama dia harus berusaha mencerai beraikan persaudaraan ke tiga orang itu. Semenjak tubuhnya jadi cacad, So Bong-seng telah menyerahkan semua persoalan partai kepada Yo Bu-shia, Pek Jau-hui, Kwee Tang-sin dan Ong Siau-sik sekalian. Aku lihat Ong Siau-sik tidak terlalu tertarik dengan masalah partai serta pertikaian antar kelompok, karena cita citanya memang bukan ke situ, sementara Pek Jau-hui kelewat agresif, tindak tanduknya yang ambisius membuat Kim-hong-si-yu-lou meski maju makin pesat namun justru terjerumus dalam kondisi yang tidak stabil, padahal yang dibutuhkan persatuan bukan ambisi tapi pengertian. Ti Hui-keng sebagai orang cerdas, tentu saja harus mengamati situasi terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu tindakan”

“Menurut pandangan pinni, hubungan antara So Bong-seng, Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik bukan persoalan peruntungan tapi masalah karakter. Lui Sun licik banyak curiga, kecuali terhadap Ti Hui-keng boleh dibilang ia tak mudah percaya kepada siapa pun, karenanya sulit baginya untuk mendapat bala bantuan. Beda sekali dengan So Bong-seng, dia tak pernah mencurigai saudara sendiri, gara gara kelewat percaya orang itulah dia sampai kena dibokong oleh Mo Pak-sin, orang kepercayaan sendiri, walau pada akhirnya dia ditolong juga oleh orang kepercayaannya, Kwee Tang-sin. Aaai, siapa menebar benih, dialah yang akan menuai hasilnya”

“Tepat sekali perkataan sinni. Kesimpulannya, selain So Bong-seng sebagai sasaran utama pembalasan dendam kelompok Lak-hun-poan-tong, mereka pasti akan berusaha menghabisi juga nyawa Lui Bie, orang yang dianggapnya sebagai ‘pagar makan tanaman’............”

“Itu mah bukan urusan serius, yang aku kuatirkan sekarang adalah semakin berjayanya pihak kerajaan yang mendukung perdamaian, bila kelompok mereka semakin menguat, otomatis situasi di kota Pakkhia pun akan mengalami perubahan lagi, bisa jadi rencana pemindahan ibu kota benar benar akan terlaksana”

“Aaaai, baru saja kita terjerumus dalam kancah peperangan, semestinya kita usir dulu pasukan Kiem hingga balik kandang, sayang dalam kerajaan muncul manusia manusia dungu yang takut mampus, masa tanah air yang kita bangun dengan susah payah harus dipersembahkan kepada musuh dengan begitu saja. Daripada hidup di alam penjajahan, lebih baik aku pertaruhkan nyawa untuk beradu jiwa dengan mereka”

“Thayjin bersedih hati memikirkan nasib negara, memohonkan keselamatan bagi rakyat negeri, pinni sungguh merasa kagum akan kebesaran jiwamu, Cuma saja...... keadaan negeri kita makin lemah, pembesar banyak yang tak peduli dengan kesengsaraan rakyat, rasanya bukan masalah gampang untuk mengatasi keadaan seperti ini. Konon dalam kota sudah beredar nyanyian yang berbunyi begini: Toako jiko samko, mari kita bertukar tempat, siap siaplah menghadapi bencana yang melanda dunia. Konon Pui siau-hoya, Liong Pat tayya, Jaksa Cu, Perdana menteri Coa hampir semua tokoh pemerintahan berusaha ikut ambil bagian dalam hal ini, malah Thian-hee-te-jit (nomor tujuh dikolong langit) yang merupakan tokoh tokoh ganas pun ikut menyusup ke kota Pakkhia, katanya Kwan Jit dari Mi-thian-jit-seng pun ikut tampilkan diri lagi. Dalam situasi kacau dan banyak masalah begini, membiarkan putrimu di kotaraja bukanlah sebuah langkah yang benar”

“Kalau begitu sudah sepantasnya sekali lagi ku utus adik Si-bun untuk membekuk pulang bocah tak genah itu”

“Kelihatannya pinni sendiripun harus berangkat ke kotaraja, akan kulihat bagaimana keadaan si bocah yang tak tahu diri itu”

“Tak disangka walau sinnie adalah orang yang sudah hidup dalam pengasingan, namun masih mau angkat senjata demi membela penderitaan rakyat, kau benar benar berhati welas”

“Tidak berani, tidak berani, pinni justru merasa jodohku dengan keduniawian belum tuntas sehingga walau dibilang semuanya adalah kosong, namun tetap ada berapa persoalan yang tetap mengganjal dihati. Semoga thayjin tidak mentertawakan”

Rupanya diakhir musim semi itu, Ang-siu sinnie telah menuruni gunung Siau-han-san dan menempuh perjalanan jauh untuk mengunjungi Un Siong-yang di kota Lok-yang, pembicaraan itulah yang berlangsung selama kunjungannya.

Waktu itu situasi dalam kerajaan sedang kalut, menghadapi agresi pasukan asing, semua rakyat hidup tak tenteram. Semua lelaki yang punya jiwa kasatria berbondong bondong mendaftarkan diri untuk berjuang mempertahankan tanah air, sementara kaum durna dan durjana saling bersekongkel untuk mencari keuntungan pribadi. Boleh dibilang situasi amat kalut dan tak tenteram.

Oo0oo oo0oo

Permulaan musim dingin tahun itu, Lui Tun dengan menunggang tandu berjalan melewati jalan raya Tang-lak-pak, dari jauh memandang, bangunan loteng Kim-hong-si-yu-lou berdiri tegak dibawah jagad raya, bangunan itu kelihatan begitu kokoh, begitu tegar. Ia sudah berusaha memutar otak memeras keringat, berusaha mencari akal, dengan cara apa bangunan tegak itu bisa dirobohkan? Bagaimana caranya bisa mengubahnya jadi lumpur, jadi abu, jadi debu.

Lui Tun merasa udara makin hari semakin dingin membekukan tubuh.

Mengawasi jari jemari sendiri yang ramping dan panjang, memandang tangannya yang putih bagaikan salju......

Tiba tiba ia seperti mengendus bau harum bunga bwee.

Bertemu salju lebih bersih, berjumpi badai lebih tegar.

------ Benarkah saat yang paling menderita bagi So Bong-seng adalah saat fajar dimusim salju yang beku?

Orang yang pernah membuatnya jatuh hati, membuatnya selalu terkenang hanya boleh sakit, tapi tak boleh mati, sebab dia harus membunuhnya, membunuh dengan tangan sendiri.

Oo0oo oo0oo

Bila dari markas Kim-hong-si-yu-lou ingin menuju ke istana raja, orang musti melewati gardu Siau-seng-teng. Saat itu adalah permulaan musim salju. Hembusan angin dingin yang membawa bunga salju seraya menyayat kulit tubuh, membuat orang mau tak mau harus menyembunyikan tengkuknya dibalik pakaian tebal.

Pemandangan diseputar gardu Siau-cay-teng pun nampak sangat sepi dan berantakan, diluar gardu terbentang jembatan kecil, air mengalir lembut dibawah jembatan, tapi sayang tak lama kemudian aliran air pun akan ikut membeku!

Tiba tiba terdengar suara derap kaki kuda, rombongan kuda yang ditumpangi So Bong-seng ber gerak mendekat.

Dalam suasana seperti inilah dari Sah-cap-lak-hong terburu buru dia balik ke loteng Kim-hong-si-yu-lo.

Semenjak Kim-hong-si-yu-lou berhasil mengalah kan Lak-hun-poan-tong, sejak Lui Sun tewas terbantai dalam gedung Kua-hay-hui-thian-tong di loteng merah, Ti Hui-keng memegang kendati di perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan bersumpah akan bertarung hingga titik darah penghabisan melawan Kim-hong-si-yu-lou, tapi saat itu kekuasaan terbesar yang ada di kota Pakhia boleh dibilang sudah terjatuh ke tangan pihak Kim-hong-si-yu-lou, sementara perkumpulan Lak-hun-poan-tong terdesak hebat posisinya.

Namun situasi mudah bergulir, perubahan susah diramalkan. Kim-hong-si-yu-lou yang selalu men dukung penggunaan kekuatan pasukan untuk meng hadapi pasukan Kim tiba tiba kehilangan pengakuan dari pihak kerajaan, begitu Coa Keng terpilih menjadi perdana menteri, segala sesuatunya telah berubah karena ia lebih mendukung usaha perdamaian.

.........................

Musim dingin baru saja tiba.

Salju meski belum turun, namun hawa dingin yang membeku telah menyelimuti seluruh jalan raya, kendatipun dinginnya belum sampai pada ujung jalan.

------ Apakah kehidupan manusia pun akan mencapai ujung jalan?

Hampir semua anggota Kim-hong-si-yu-lou, dari puncak pimpinan hingga sampai bawahan, semuanya takut kalau kehidupan So Bong-seng sudah tiba di ujung jalan.

Dari atas loteng hijau, dari ruang rapat, dari dalam tandu bahkan dari dalam kereta, dari tempat yang berbeda, dari keadaan yang berbeda, hampir semua orang dapat mendengar suara batuk dari So Bong-seng, suara batuk yang begitu keras bagaikan hembusan angin utara, suara yang menggetar sukma, suara yang serasa melumat usus.

---- Dalam berapa bulan terakhir, keadaan penyakit yang diderita So Bong-seng kian hari kian bertambah parah.

Semenjak So Bong-seng kehilangan kakinya, pera nan Pek Jau-hui dan Yo bu-shia dalam perkumpulan Kim-hong-si-yu-lou kian hari kian bertambah penting.

Seringnya berpindah tempat membuat penyakit yang diderita So Bong-seng hanya bisa disembuhkan oleh tabib Su, akan tetapi tabib istana tak mungkin sembarangan meninggalkan keraton, terpaksa So Bong-seng pun seringkali melakukan perjalanan.

Semakin sering So Bong-seng mengunjungi istana, hal ini menunjukkan kalau kondisi penyakitnya makin bertambah parah.

Namun hari ini nampaknya suara batuk So Bong-seng jauh lebih berkurang, apakah batuknya berhasil disembuhkan? Atau dia sudah kehabisan tenaga untuk batuk? Paling tidak itulah yang dibayangkan Kit-siang-ji-ih.

"Kit-siang-ji-ih" (rejeki sejahtera sesuai pengharapan) bukanlah sebuah kata ucapan, juga bukan pepatah, bahkan bukan terdiri dari satu kalimat.

Itulah nama manusia, nama empat orang manusia.

- It-yu-bong (sebuah impian) Lip Siau-kit.

- Siau-bun-cu (si nyamuk) Siang Ko-ji.

- Jagoan tangguh dari perguruan Gui-li-pat-ji-bun (delapan depa kecantikan semu) Cu Ji-si.

- Bu-wi-hui-coa (ular terbang tanpa ekor) Ouyang Ih-ih.

Mereka adalah empat orang jago yang baru saja bergabung ke dalam perkumpulan Kim-hong-si-yu-lou, berhubung mereka bertujuan mencari rejeki dan keuntungan maka nama mereka berempat pun seringkali digabung menjadi satu hingga terbentuk tulisan Kit-siang-ji-ih.

Mereka berempat selain masih muda, punya kemampuan tinggi, memiliki kungfu yang tiada keduanya, bahkan amat setia. Penampilan mereka di perkumpulan Kim-hong-si-yu-lou membuat kekuatan perkumpulan ini makin kuat dan berjaya.

Cu Ji-si dan Ouyang Ih-ih adalah jagoan yang dibawa masuk oleh Pek Jau-hui, siang Ko-ji adalah sahabat karib Ong Siau-jik, sementara Lip Siau-kit adalah orang yang disponsori oleh Yo Bu-shia. Mereka semua sangat dihargai So Bong-seng.

Empat orang jagoan inilah yang bertanggung jawab mengawal So Bong-seng.

Ditengah musim salju yang begitu dingin, hanya terdengar suara orang sakit didalam kereta kuda, tak terdengar lagi suara batuk, apa yang sebenarnya mereka pikirkan? Gembira atau masgul?

Kereta tersebut adalah sebuah kereta yang sangat kokoh, seluruh badan kereta tertutup kain terpal yang tebal, baik roda, tali, maupun perangkat lain hampir semuanya terbuat dari emas, sebuah kereta yang megah dan indah.

Yang bertindak sebagai kusir ada dua orang, yang satu adalah Siang Ko-ji, yang lain adalah Cu Ji-si. Sementara Lip Siau-kit dan Ouyang Ih-ih berdiri disisi kiri dan kanan kereta sambil melakukan perlindungan.

Didepan kereta berjalan empat ekor kuda jempolan, dua orang menggembol pedang, dua orang membawa tombak panjang, sedang dibelakang kereta mengikuti tiga puluh ekor kuda dengan tiga puluh orang lelaki kekar membawa golok besar dan menyandang busur.

Mereka semua adalah jago jago tangguh generasi baru pertama dari perkumpulan Kim-hong-si-yu-lou.

"Orang bilang Lui Sun memiliki sembilan lembar nyawa, biar matipun dia bisa bangkit dan hidup kembali, tapi pada akhirnya dia tetap tewas ditangan So Bong-seng" Pui Eng-gan, tokoh paling terhormat dalam pemerintahan kerajaan dan mempunyai kedudukan misterius dalam dunia persilatan pernah berkata begitu sambil tertawa, "hanya So Bong-seng seorang yang tak bisa terbunuh, kecuali dia sendiri yang ingin mati. Kalau tidak siapa pun tak bakal mampu membunuhnya"

Berhasil membunuhnya atau tidak berhasil jelas merupakan satu persoalan.

Tapi dalam kenyataan masih ada juga orang yang berusaha untuk membunuh So Bong-seng.

Sewaktu rombongan baru saja naik jembatan siap menyeberangi sungai, mendadak terdengar suara orang mengaduh, kemudian terlihat seorang kakek tua tercebur ke dalam sungai.

Air sungai itu sudah tercampur dengan bongkahan salju yang berasal dari hulu, ditengah hembusan angin utara yang membeku, sudah jelas air sungai itu terasa makin dingin menggigilkan.

Bab 2. Bunga Bwee beracun.

Rombongan kereta telah berhenti.

Lip Siau-kit telah bersiap siap melompat masuk ke dalam sungai untuk menolong kakek tua itu.

Pada saat itulah dari dalam kereta terdengar seseorang bertanya:

"Apa yang terjadi?"

"Seorang kakek tua tercebur ke dalam sungai" jawab Cu Ji-si.

Tanpa berpikir sekejap pun orang yang berada dalam kereta segera berseru:

"Lanjutkan perjalanan"

Sudah jelas ucapannya adalah perintah. Siapa pun tak boleh berhenti, bahkan melarang untuk menyelamatkan orang tua itu.

Terpaksa Lip Siau-kit sekalian hanya bisa mengawasi si orang tua yang tercebur ke sungai itu meronta dengan sekuat tenaga, meronta ditengah gulungan air yang membeku. Meski tak tega, siapa pun tak berani membangkang.

Kereta segera bergerak melewati jembatan kayu.

Tiba tiba dari dalam sungai melompat keluar sesosok tubuh manusia, orang itu membawa sebuah lembing sepanjang satu tombak delapan kaki (lebih kurang 1,8 meter), ia menghujamkan lembingnya dari dasar jembatan, menusuk ke dasar kereta lalu tembus dari atap bagian atas.

"Kongcu......." teriak Lip Siau-kit dengan perasaan terkesiap.

"Kurangajar!" umpat Siang Ko-ji pula dengan paras berubah.

Dari ujung sungai terlihat pula seseorang dengan membawa sebilah golok besar seberat dua ratusan kati, diiringi suara auman keras telah menerjang datang dengan garangnya, dia memiliki perawakan tubuh yang tinggi besar, wajahnya gemuk, bibirnya tebal seperti daging samcan, cambangnya kaku bagai sarang lebah, diiringi percikan butiran air dia menyerbu tiba dengan garangnya.

Cukup dilihat dari kegarangannya sewaktu menerjang tiba, orang akan keder dibuatnya.

Pada saat yang bersamaan, dari ujung sungai yang lain muncul pula seseorang, dia melesat datang dengan kaki menempel diatas permukaan air, gerakan tubuhnya cepat dan cekatan, dalam genggamannya terlihat seuntai rantai perak yang tipis dan lembut.

Seandainya tiada pantulan cahaya dari permukaan sungai, bahkan menimbulkan suara desingan angin tajam, pada hakekatnya siapa pun tidak mengira kalau dalam genggaman orang itu terdapat sebilah senjata maut yang begitu panjang.

Dua orang itu menghimpit tiba dari kiri kanan, dalam waktu singkat mereka telah semakin mendekat.

Empat orang jago yang berada pada barisan depan serentak mencemplak kudanya, biar menghadapi ancaman, mereka sama sekali tak kalut. Dengan dua di kiri, dua di kanan mereka cabut pedangnya siap menghadapi datangnya serbuan.

Tiga orang penunggang kuda yang berada dibarisan belakang serentak bersiap siaga pula menghadapi segala perubahan.

Pada saat itulah mendadak terjadi getaran keras dari dalam kuil dewa tanah di sisi jembatan, lalu disusul dengan munculnya sesosok tubuh manusia.

Pada hakekatnya orang ini adalah seorang raksasa. Seorang raksasa yang terbuat dari besi baja.

Sewaktu berjalan, orang itu tak ubahnya seperti sebuah patung tembaga yang pandai bergerak.

Seorang "patung tembaga" yang bertubuh raksasa ternyata sebelum ini dapat menyembunyikan diri didalam kuil dewa tanah yang begitu kecil lagi sempit, hal ini benar benar merupakan satu kejadian yang sukar dipercaya.

Dalam genggaman manusia raksasa ini terlihat sepasang kampak raksasa yang amat besar.

Kapak raksasa itu tampak berubah makin panjang mengikuti gerakan langkah tubuhnya.

Jangan dilihat ia berperawakan tinggi besar, ternyata gerak geriknya amat gesit dan cepat.

Begitu munculkan diri, manusia raksasa itu langsung mendekat ke arah tandu, dengan gerakan tubuhnya yang cepat dan kapaknya yang panjang, dalam satu sapuan kilat dia babat kutung enam buah kaki kuda yang berada pada urutan depan, begitu penunggangnya jatuh dari punggung kuda, dia susulkan dengan bacokan ke dua untuk membabat batok kepala ke tiga orang itu, disusul kemudian bacokan ke tiga mengutungi kepala ke tiga ekor kuda itu.

Begitu berhasil, dengan kecepatan tinggi ia menghampiri tandu.

Pada saat yang bersamaan, para pengawal kuda bersenjatakan pedang dan tombak yang berada pada urutan belakang telah mati semua dibabat jago bersenjata golok dan ruyung perak itu.

Ceceran darah seketika berserakan dimana mana dan mengotori air sungai yang mengalir dibawahnya.

Dalam pada itu kakek yang tercebur ke dalam sungai tadi kini sudah melompat ke daratan dan menghadang diujung jembatan, sepasang tangannya dimasukkan ke dalam saku, meski tubuhnya basah kuyup namun dia menghadang ditengah jalan dengan garangnya, seakan seorang jenderal yang sedang memimpin sepuluh laksa tentara bertempur di medan laga.

Sang pembunuh gelap bersenjata lembing yang berhasil dengan serangannya tadi, kini telah melompat naik ke pagar kayu ditepi jembatan.

Jikalau pembunuh yang bersembunyi dalam sungai itu merupakan titik pusat pengepungan, maka jago bergolok besar itu menyerang dari sisi kiri, jago bersenjata ruyung perak itu dari sisi kanan, dibelakang menghadang lelaki bersenjata kapak sedang didepan menghadang si kakek yang tercebur kedalam sungai tadi, jumlah mereka seluruhnya lima orang.

Dari posisi pengepungan ke lima orang itu, maka terbentuklah sebuah barisan yang ganas dan mematikan, bentuk barisan itu mirip sebuah gambar bunga bwee, karena barisan yang mereka gunakan sekarang memang sebuah ilmu barisan yang sangat mematikan, disebut Bunga bwee beracun.

"Aku cinta keindahan bunga bwee,

Kutempuh jalan pintas yang singkat,

Jangan mengajarkan orang menyapu batu,

Kumpulkan bunga yang berguguran"

Ketika musim dingin lewat, disaat musim semi menjelang, itulah saat bunga bwee mulai mekar dan menyiarkan bau harum semerbak.

Dingin. Makin dingin makin indah, makin dingin makin mekar.

Kalau tidak mengalami kedinginan yang membeku, darimana kau dapat menikmati harumnya bunga bwee?

Banyak orang bilang, semasa masih hidupnya dulu Lui Sun paling menyukai tiga hal.

Suka perempuan, termasuk putri kesayangan nya.

Suka bakat bagus, khususnya Ti Hui-keng.

Padahal dia masih menyukai satu hal lagi: dia amat menyukai bunga bwee.

Dia amat menikmati keindahan bunga bwee, karena suka bunga bwee maka pernah disusun sebuah rencana besar, dia ingin membokong musuh yang paling diseganinya...... So Bong-seng!

Asal So Bong-seng sedang sakit, asal suatu saat dia lewat di jembatan siau-coat-kiau, asal dia dapat mengumpulkan lima orang jago andalannya: Lui Kong, Lui Pi, Lui Tiong, Lui Ming, Lui San.

Kini, mereka benar benar telah berdatangan, datang dari Kanglam, tepatnya Bi-lek-tong.

Tujuan kedatangan mereka saat ini hanya satu, mewujudkan rencana "bunga bwee beracun".

Mereka harus membalaskan dendam atas kematian Lui Sun, mereka harus menghabisi nyawa So Bong-seng.

Kini lembing panjang telah menembusi kereta, dapat dipastikan orang yang berada dalam kereta sudah mati secara mengerikan.

Kendatipun begitu, ke lima orang itu bukannya mundur kini malah merangsek maju lebih ke depan.

Mereka ingin membunuh dan memusnahkan seluruh kekuatan lawan, mereka ingin menyeret keluar tubuh So Bong-seng kemudian mencincangnya hingga hancur berkeping.

Lui Sun adalah murid paling menonjol dari Kanglam Bi-lek-tong, dia pun memegang kekuasaan besar di kotaraja, pergaulannya luas, hubungan dengan pembesar kerajaan pun erat, selama ini mendatangkan banyak keuntungan bagi perguruan Lui-bun.

Sebagian besar produksi bahan peledak dan senjata api bikinan keluarga Lui di Kanglam pun banyak mendapat suport dari kalangan pembesar kerajaan, jelas hal ini mendatangkan keuntungan yang luar biasa bagi perguruannya.

Begitu Lui sun mati, kekuasaan terbesar di perkumpulan Lak-hun-poan-tong pun jatuh ke tangan Ti Hui-keng, tak heran kalau rasa benci mereka terhadap So Bong-seng sudah merasuk hingga ke tulang sumsum.

------ Mereka adalah saudara seperguruan Lui Sun.

------- Lui Sun pernah membina dan mendidik mereka.

------- Karena itulah mereka bersumpah akan membalaskan dendam bagi kematian Lui Sun.

Dengan sepenuh tenaga Lip Siau-kit, siang Ko-ji, Cu Ji-si serta Ouyang Ih-ih melindungi kereta berkerudung itu, sekalipun semisal So Bong-seng sudah tewas dalam kereta pun, mereka harus melindungi mayatnya hingga tiba selamat di markas.

Akan tetapi senjata yang digunakan pihak penyerang kelewat panjang, kelewat ganas, terlalu susah dihadapi.

Bila tak ingin hancur bersama kereta itu, maka mereka harus segera menghindarkan diri dari serbuan senjata senjata maut lawan.

Hanya Lip Siau-kit seorang tetap berada diatas kereta, karena lembing panjang milik Lui San yang berada didasar jembatan telah tertancap menembusi ruang kereta.

Dengan tangan kosong Lui San segera melompat naik ke atas kereta, secara beruntun dia lancarkan serangan pukulan berantai.

Lip siau-kit sama sekali tak gentar, setiap jurus dipatahkan dengan jurus, setiap gerakan dihadang dengan gerakan, setengah inci pun dia tak sudi untuk mengalah.

Berapa kali Lui San merogoh ke dalam sakunya siap melemparkan berapa butir Lui-ceng-cu (getaran guntur) ke dalam ruang kereta, namun Lip Siau-kit yang segera mengubah taktik pertarungannya, dari bertahan jadi menyerang, memaksa Lui San tak berkesempatan melepaskan senjata mautnya.

Pada saat itulah, mendadak terdengar suara pekikan nyaring menggetar seluruh udara.

Kakek yang tercebur ke sungai tadi tahu tahu sudah melambung ke udara dan langsung meluncur ke depan kereta.

Baru saja Lip Siau-kit hendak menghadang, sebuah sapuan kaki si kakek membuat Lip Siau-kit terpaksa harus menghindar.

Kakek itu mendengus dingin, sementara tangan kirinya menyingkap tirai kereta, tangan kanannya segera membacok ke muka.

Mendadak ia menjerit keras, tubuhnya roboh terjengkang ke belakang, sebuah bekas merah yang kecil muncul diatas jidatnya, bekas merah yang kecil dan lembut sekali.

Disaat tubuhnya roboh terjungkal, tiba tiba bekas merah itu mengembang jadi besar, disusul kemudian jidatnya pecah dan merekah, semburan darah pun berhamburan ke mana mana.

"Blaaaam......!" peluru lui-ceng-cu yang berada dalam sakunya meledak seketika.

Kemudian semua orang baru melihat sebuah jari tangan, jari tengah.

Sebuah jari tengah yang langsing, panjang dan putih.

Jari tangan itu muncul dari balik tirai kereta, dan kini sedang perlahan lahan ditarik kembali.

Bukan saja totokan jari itu telah merenggut nyawa Lui Kong, bahkan menggemparkan seluruh arena pertarungan.

Seketika itu juga seluruh pertarungan terhenti, suasana hiruk pikuk pun sirap, suasana jadi hening dan sepi.

Sorot mata semua orang teralih ke atas jari tangan itu.

Karena jari tangan telah ditarik kembali, terpaksa kawanan jago itupun selangkah demi selangkah berjalan menghampiri kereta.

Tirai yang digunakan untuk menutup jendela kereta amat tebal, sedemikian tebalnya sampai siapa pun tak bisa melihat benda yang berada dibalik tirai itu.

Kini pakaian yang dikenakan Lui San telah basah kuyup, tidak jelas basah karena air sungai? Atau basah karena keringat?

Dia meraung keras, sambil mengayunkan kepalannya langsung menyerang ke arah kereta.

Lui San mempunyai perawakan tubuh tinggi besar, dengan tenaga pukulan yang dimiliki, asal kereta itu terhantam, niscaya semuanya akan hancur berantakan.

Tapi sayang kereta itu tidak hancur, justru dia sendiri yang remuk.

Tulang hidungnya terhajar sampai remuk, badannya mencelat sejauh berapa tombak dan tercebur ke dalam air.

Diantara aliran air yang bercampur darah segar, Lui San tenggelam ke dasar sungai dan tak pernah muncul kembali.

Lagi lagi dari balik tirai hanya muncul sebuah jari tangan, kali ini ibu jari.

Sebuah ibu jari yang indah bentuk lengkungannya, seakan sedang memuji keberhasilan seseorang.

Lui Pit yang membawa golok besar, Lui Ming yang bersenjatakan ruyung perak, ditambah Lui tiong yang bertubuh raksasa bagaikan patung tembaga, tiba tiba saja merasakan tenggorokannya jadi kering, sekujur tubuh mereka gemetar keras.

------ Udara di permulaan musim dingin memang amat menggigilkan tubuh, apalagi musim panas ditahun mendatang masih jauh dari sekarang.

Ouyang Ih-ih, Cu Ji-si dan siang Ko-ji hanya memandang ke arah mereka tanpa bicara, mimik muka mereka menunjukkan seolah orang orang itu sedang memandang tiga buah liang kubur.

Akhirnya Lui tiong yang berteriak lebih dulu, bentaknya:

"Apakah kau adalah So Bong-seng? Kau....."

Suasana dalam kereta tetap hening, tiada suara, tiada gerakan.

Lip siau-kit telah melompat turun dari kereta kuda. Tiba tiba saja kereta itu bergerak sendiri, langsung menabrak tubuh Lui Tiong.

Lui Tiong membentak keras, tanpa menggubris keadaan dia langsung mengayunkan kapak sambil menyongsong datangnya terjangan kereta itu, sekali ayun dia belah kereta kuda itu jadi dua.

"Braammm!" kereta kuda itu segera roboh terbelah dan jatuh ke dalam sungai.

Tak seorang manusia pun berada dalam kereta itu, yang ditemukan hanya sebiji gigi yang patah.

Cepat Lui Tiong mendongakkan kepalanya, dan ia pun menjumpai satu peristiwa yang mengerikan.

Dua orang saudaranya yang tersisa, Lui Ming dan Lui Pit telah roboh terjungkal ke dalam sungai, tenggorokan mereka terbelah lebar, dari sana darah segar menyembur keluar, membaur dengan air sungai yang bersih dan menciptakan banjir darah yang mengerikan.

Seorang lelaki berbaju sutera telah berdiri dihadapannya, kali ini dia menunjukkan dua jari tangannya.

Satu jari kiri dan satu lagi jari tangan kanannya, semua jari adalah jari kelingking.

Jari tangan yang putih, mulus dan terawat tapi.

Tak setetes darahpun menodai jari tangan itu, seakan pembunuhan yang barusan terjadi bukan tercipta karena dia.

Lui Tiong meraung keras, dia ayun kapaknya dan langsung dihujamkan ke atas jalan darah thay-yang-hiat dikening kiri dan kanan sendiri.

"Pek Jau-hui.......... Lak-hun-poan-tong........ keluarga Lui pasti.... pasti akan menuntut balas dendam kesumat sedalam lautan ini......"

Menyaksikan kematiannya, orang berbaju sutera itu seolah merasa sayang, tapi kemudian dengan nada penuh simpatik perintahnya:

"Gotong pulang mereka semua, kebumikan orang orang itu dengan layak"

"Baik" jawab Cu Ji-si.

"Kita harus kagum dan menghormati mereka karena kesetiaannya sampai mati terhadap Lui Sun" ujar manusia berbaju sutera itu, Pek Jau-hui sambil menghela napas, "orang yang setia sampai mati pantas memperoleh penguburan yang layak"

"Pek hu-loucu" tak tahan Lip siau-kit bertanya, "mengapa orang yang berada dalam kereta bisa dirimu?"

"Kenapa bukan aku?" Pek Jau-hui balas bertanya dengan nada hambar.

Kontan Lip Siau-kit terbungkam dan tak berani bicara lagi.

"Ingin membunuh So loucu?" dengus Pek Jau-hui sinis, sambil menunjukkan jari tangannya ia melanjutkan, "harus mencoba membunuh diriku lebih dulu"

Maka semenjak hari itu slogan "ingin bunuh So Bong-seng, basmi Pek Jau-hui lebih dahulu" menjadi populer di seantero jagad, tak lama kemudian kalangan hitam maupun putih dalam dunia persilatan pun tersiar slogan baru:

"Akan bunuh So, bunuh Pek dulu"

"Pek mati, So susah hidup"

Padahal selama pertarungan berdarah itu berlangsung, ada dua orang, berada pada jarak tertentu, disuatu tempat yang tak mungkin ditemukan orang, menonton jalannya pertarungan.

Kedua orang itu, satu adalah pemimpin kelompok Lak-hun-poan-tong Ti Hui-keng.

Sedangkan yang seorang lagi adalah Lim Koko, orang yang pernah menghianati Lak-hun-poan-tong.

Ti Hui-keng berdiri sambil bergendong tangan, menundukkan kepala, dia seakan sedang menikmati pemandangan alam.

Sementara Lim Koko berdiri di belakang tubuhnya.

Mengapa ia berada berduaan dengan Lim Koko yang pernah berhianat? Apakah ia tak kuatir rekannya sekali lagi berubah pikiran dan berusaha membokongnya?

Sebenarnya apa yang sedang dipikirkan Ti Hui-keng?

Lim Koko tidak tahu, dia hanya menunggu, dia menunggu Ti Hui-keng mengajukan pertanyaan.

Dia tahu, Ti Hui-keng pasti akan mengajukan pertanyaan kepadanya.

Betul saja, Ti Hui-keng bertanya kepadanya:

"Kaukah yang memberi laporan rahasia kepada Lui-bun Ngo Toa-thian-ong (lima raja langit dari perguruan Lui), bahwa So Bong-seng pasti akan melalui jembatan Siau-coat-kiau?"

"Benar!"

"Kalau memang benar, mengapa kau minta mereka untuk melakukan penghadangan ini?"

"Jauh jauh datang dari wilayah Kanglam, tujuan utama dari Lui-bun-ngo-toa-thian-ong adalah membalaskan dendam atas kematian Lui Cong-tongcu, mereka merasa amat tak puas karena melihat aku tak pernah melakukan penyerangan, karenanya apa salahnya bila membiarkan mereka mencobanya lebih dulu, bila berhasil, tentu saja menguntungkan kita, semisal gagal pun tidak menjadi masalah"

"Bagaimana dengan kau sendiri?"

"Aku?"

"Apa pandanganmu sendiri atas sikap Lak-hun-poan-tong yang selama ini tidak melakukan serangan?"

"Aku tak berani menjelaskan rencana yang Ti toa-tongcu sedang persiapan, namun paling tidak aku percaya Toa-tongcu pasti mempunyai perhitungan sendiri, lagipula saat ini belum bisa dibilang kesempatan sudah matang, bila mengorbankan diri dengan sia sia, tindakan tersebut tak lebih hanya akan menggebuk rumput mengejutkan sang ular, sama sekali tak akan menghasilkan apa apa dan Tongcu tak nanti akan melakukan tindakan sebodoh ini"

"Tapi kenyataannya sekarang, gara gara laporan rahasiamu, Lui-bun-ngo-toa-thian-ong mati sia sia di jembatan siau-coat-kiau, apakah kau tidak takut orang orang perguruan Lui dari Kanglam Bi-lek-tong akan mencarimu dan menjatuhi hukuman berat?"

"Aku adalah anggota Lak-hun-poan-tong, bila ingin menghukum, sudah sepantasnya bila Lak-hun-poan-tong yang menghukum aku, bila aku dianggap bersalah, semua hukuman pasti akan kujalani tanpa membantah. Padahal pengalaman perang orang jaman kuno bisa dibuat pegangan, berulang kali aku sudah berkata kepada mereka, ingin membunuh So Bong-seng sama artinya mencari mati buat diri sendiri, kalau mereka tak percaya dan tetap ngotot, masa aku yang disalahkan?"

"Bukan siapa yang harus disalahkan, kini orangpun sudah mampus, mau menyalahkan pun juga tak mungkin"

"Bila ingin bekerja, jangan takut disalahkan orang. Inilah wejangan yang selalu ditanamkan cong-tongcu dimasa silam"

"Ehmm, kau memang lain dari dulu, tampaknya pihak Kim-hong-si-yu-lou harus memandang tinggi dirimu"

"Berkat kebesaran hati Toa-tongcu, aku baru bisa hidup hingga hari ini, bila aku tak menyesali semua kesalahanku dimasa lalu, sama artinya telah menyia nyiakan budi pertolongan toa-tongcu kepadaku dan budi kebaikan cong-tongcu kepadaku dimasa silam"

"Semua yang kau katakan hanya ucapan sampah. Sebagai orang yang berbakat, janganlah berpikiran sempit, orang boleh berbuat salah kepada orang lain tapi jangan menyia-nyiakan diri sendiri. Bila kau masih lakukan perbuatan yang menghancurkan diri sendiri, sama artinya kau telah menyia-nyiakan hidupmu sekarang"

"Baik!"

"Tahukah kau mengapa Lui-bun-ngo-toa-thian-ong bisa kalah hingga tertumpas?"

"Mereka terlalu emosi, kelewat temperamen dan terburu napsu, kurang perencanaan yang baik, kelewat pandang enteng musuh, maka akibatnya nyawa sendiri jadi taruhan, selain itu aku merasa siasat bunga bwee beracun yang dirancang Lui cong-tongcu agak..... agak......"

"Tak apa, katakan saja terus terang"

"Selama tiga bulan terakhir aku telah periksa semua bahan dan buku pedoman yang tersedia untuk memahami rencana bunga bwee beracun yang dirancang Lui Cong-tongcu, ternyata hasil rancangannya mirip sekali dengan rencana yang disiapkan Sim Hau-sian untuk membunuh Sat-jiu-ong (raja tangan pembunuh) Seng Bu-beng di jembatan siau-gwe-kiau sungai Siong-lim-si tempo dulu"

"Oya?"

"Seng Bu-beng adalah tetua berkedudukan paling tinggi dalam perkumpulan Hay-gan-pang, sejak berusia lima belas tahun Sim Hau-sian telah mengirim surat tantangan perang, tak heran kalau Seng Bu-beng tak berani memandang enteng musuhnya serta memperketat penjagaan sendiri.

"Suatu hari, dia dengan mengajak tujuh puluhan orang pengawal melewati jembatan Siau-gwee-kiau, mendadak dasar tandunya dijebol oleh tusukan tombak yang muncul dari dasar jembatan langsung menembusi tandu.

"Belum lagi penyerang dari dasar jembatan itu munculkan diri, salah satu pembunuh yang menyamar menjadi pengawal telah melancarkan serangan mematikan secara mendadak ke arah Seng Bu-beng, hanya saja dia tak mengira kalau penyerangnya hanya sebuah umpan, dia adalah Tong Po-gou. Sim Hau-sian yang merupakan pembunuh sesungguhnya waktu itu masih bersembunyi didalam air. Maka ketika konsentrasi Seng Bu-beng tertuju pada serangan Tong Po-gou, tiba tiba saja Sim Hau-sian munculkan diri, dengan sekali tebasan dia pun membabat batok kepala Seng Bu-beng hingga terlepas dari tubuhnya.

"Coba saja bayangkan serangan yang dilancarkan ke lima orang tadi, bukankah caranya persis seperti apa yang pernah dilakukan Sim Hau-sian dahulu? Tak heran bila So Bong-seng sudah meningkatkan kewaspadaannya untuk menghadapi kejadian seperti ini"

"Dalam waktu singkat Pek Jau-hui berhasil menghabisi lima orang jago tangguh, apa pandanganmu tentang hal ini?"

"Padahal So Bong-seng tidak menakutkan, yang menakutkan justru pek jauhui. Sehebat apa pun ilmu silat yang dimiliki So Bong-seng, dia tak lebih hanya harimau timpang, sebaliknya Pek Jau-hui adalah macan tutul yang telah tumbuh sayap. Dewasa ini, dari kelompok Kim-hong-si-yu-lou, So Bong-seng sudah jatuh sakit, Ong Siau-sik tak berminat mencampuri urusan organisasi, Yo Bu-shia hanya konsentrasi dalam kelompoknya didalam gedung, ini berarti tinggal Pek Jau-hui seorang yang mengurusi segala sesuatunya, bukan saja nama besarnya makin tersohor, kedudukannya makin tinggi bahkan tindak tanduknya amat telengas"

"Oleh sebab itu bila ingin menghancurkan Kim-hong-si-yu-lou, So Bong-seng harus dibunuh lebih dulu, bila ingin membunuh So Bong-seng, Pek Jau-hui harus dilenyapkan nomor satu"

"Benar!"

"Analisa mu tampaknya mengalami banyak kemajuan, tapi masih kurang tajam akurasinya"

"Aku berani mengurai begitu banyak, sesungguhnya semua ini merupakan anugerah dari Toa-tongcu"

"Apa yang kau uraikan tadi sebetulnya bukan pandangan yang berimbang, melainkan menarik tali merah dari menang kalahnya kejadian lama. Biasanya bila suatu peristiwa telah terjadi, orang akan timbul pandangan mengapa tidak menengok dari sejarah yang terdahulu, dan membuat persiapan untuk yang akan datang. Tapi analisa mu cukup cermat dan bisa diterima dengan akal, secara dipaksakan masih bisa dianggap menduga duluan sebelum kejadian. Tapi coba bayangkan, andaikata usaha Lui-bun-ngo-toa-thian-ong kali ini berhasil dengan sukses, apa pula pandangan orang persilatan tentang peristiwa ini? Mungkin saja mereka akan mengatakan: sedih dan marah merupakan kekuatan inti dari sebuah keberhasilan, dengan memegang teguh pesan akhir dari Lui Sun mereka berhasil membalaskan dendam atas kematiannya.

"Mungkin juga akan berkata begini: setelah So Bong-seng berhasil membunuh Lui Sun, mereka kelewat gegabah, mengira Ti Hui-keng tak berani melancarkan serangan balasan, siapa sangka anggota perguruan Bi-leng-tong berani mati sehingga pembalasan dendamnya berhasil dengan sukses.

"Seandainya dalam pertempuran itu Pek Jau-hui terbunuh, maka orang pun akan berkata begini: Pek Jau-hui kelewat tak tahu diri, ingin menjadi So Bong-seng ke dua, akibatnya dia menjadi setan pengganti So Bong-seng, mati secara mengenaskan ditangan orang dan menjadi tumbal Kim-hong-si-yu-lou.

"singkatnya, dalam situasi seperti apa pun, para analis tentu mempunyai alasan untuk membenarkan pendapatnya, mereka pun pandai mengikuti arah angin, maka dari itu analisa semacam ini bukan analisa yang seimbang, melainkan analisa yang dibuat berdasarkan menang kalah seseorang.

"Bila berhasil, semua tindakan dan sepak terjangnya akan berubah menjadi pilihan yang brilian, usaha yang cemerlang. Sebaliknya bila kalah, semua tindak tanduknya akan diolok olok orang, dicemooh orang. Karenanya analisa semacam ini jangan sekali kali kau percaya"

"Perkataan Toa-tongcu benar sekali, disaat aku melakukan analisa, menang kalahnya suatu pertempuran memang mempengaruhi jalan pikiranku, disamping itu terpengaruh juga oleh pandangan orang di kiri kanan"

"Bukan hanya kau, setiap orang pun sama seperti dirimu, jadi dalam hal ini aku tidak menyalahkan kau. Hanya saja kau harus ingat, terlepas siapa menang siapa kalah, ada berapa hal yang harus kau perhatikan:

"Pertama, Lui San, Lui Tiong, Lui Kong, Lui Ming dan Lui Pit benar benar merupakan saudara sejati dari Lui congtongcu. Sekalipun Lui congtongcu telah meninggal, mereka masih belum melupakan budi kebaikannya.

"Bila seseorang tidak memiliki saudara yang mau senasib sependeritaan, biasanya dia akan menganggap dirinya paling bersih, dirinya paling hebat karena tak sudi mencari masalah yang tak berguna, padahal dalam kenyataan dia sama sekali tak tahu bagaimana rasanya bisa memperoleh orang yang benar benar menganggap dirinya sebagai saudara.

"Aku sendiri tak memiliki saudara angkat, jadi ucapanku barusan sama halnya sedang memaki diri sendiri, ini baru adil namanya, karena kita tak boleh pandang enteng kekuatan semacam itu.

"Seperti contohnya hubungan persaudaraan antara So Bong-seng, Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik, jalinan hubungan semacam ini tak boleh dipandang enteng, karena kecerdasan maupun ilmu silat yang dimiliki Ong Siau-sik serta Pek Jau-hui masih jauh diatas kemampuan Lui-bun-ngo-thian-ong"

"......................................."

"Kedua, walaupun hari ini Pek Jau-hui telah menunjukkan kebolehannya, namun paling tidak dia telah melanggar dua kesalahan besar, kesatu dia turun tangan kelewat awal, menurutku sebetulnya kekuatan "Jit-siang-Ji-Ih" empat orang sudah lebih dari cukup untuk mengatasi serangan Lui-bun-ngo-thian-ong. Pek Jau-hui bisa turun tangan secara terburu buru, tak disangkal karena dia mempunyai tujuan sendiri.

"Kedua, Pek Jau-hui tidak seharusnya mengubur jenasah ke lima orang keluarga Lui itu dengan upacara, karena dengan begitu, siapa pun tahu kalau dialah pembunuhnya, dikemudian hari keluarga Lui dari Kanglam pasti tak akan melepaskan dirinya, sebab dengan berbuat begitu tak disangkal dia telah menjalin ikatan dendam dengan keluarga Lui"

"Maksud toa-tongcu.........."

"Pek Jau-hui bisa berbuat begitu sudah pasti mempunyai alasannya, dia toh bukan orang goblok"

"Menurut pandangan hamba, tampaknya hubungan antara So Bong-seng, Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik belum tentu akrab dan harmonis"

"Dasar apa kau berkata begitu?"

"Jika hubungan mereka bertiga betul betul harmonis dan saling menguatirkan keselamatan rekannya, tak mungkin dalam situasi gawat seperti ini, Ong Siau-sik justru meninggalkan Kim-hong-si-yu-lou dan pergi ke Kim-sik-hong untuk mengobati pasien sambil menjual lukisan. Tentu saja Ong Siau-sik pun bukan orang bodoh"

"Orang bodoh di kotaraja makin lama makin sedikit, mereka yang kualitasnya sedikit lebih rendah pun sudah pada menahan diri, tersisa kaum kuat yang munculkan diri dari dalam tanah, begitu kaum ini semakin banyak yang muncul maka sikut sikutanpun akan terjadi, semua pihak akan berusaha merebut sebagian wilayah untuk berkuasa" kata Ti Hui-keng dengan nada murung.

"So Bong-seng pernah mengutus Yo Bu-shia untuk menawarkan posisi kepadaku, syaratnya mereka membiarkan aku menduduki kursi ke empat sambil tetap menguasai Lak-hun-poan-tong, tapi harus membereskan Lui Sun terlebih dulu.

"Saat itu aku pura pura menerima tawaran tersebut, agar dalam rangka melaksanakan rencana serangan balik yang telah disusun congtongcu bisa terlaksana dengan lancar.

"Selama bergabung dengan mereka, aku selalu memberikan masukan yang mereka yakini sangat bermanfaat, namun So Bong-seng tetap menganggap aku sebagai orang ke empat, hal ini membuktikan kalau dia sangat menghargai kemampuan kedua orang ini. Bila Ong Siau-sik tidak punya niatan dalam hal ini, tak nanti dia tetap tinggal dikotaraja. Kolong langit begitu luas, kalau untuk menjual lukisan sambil melakukan pengobatan, memangnya ditempat lain ia tak bisa melakukannya? Oleh karena itu aku rasa bila ingin menghancurkan Kim-hong-si-yu-lou, kita harus bunuh So Bong-seng lebih dahulu, bila ingin bunuh So Bong-seng maka kita harus lenyapkan Pek Jau-hui lebih dulu, untuk bisa membunuh Pek Jau-hui, kitapun harus habisin Ong Siau-sik lebih dahulu"

Selama memberikan analisa serta uraiannya, dia lakukan semuanya secara teratur, alasannya jelas, nada bicaranya tenang, seakan akan ia sedang menceritakan satu masalah yang sama sekali tak ada hubungan dengan dirinya.

"So Bong-seng ibarat bintang utama gugus utara, bintang Cewei (kaisar), dia yang memimpin para jago dengan wibawa serta kecerdasan otaknya; Pek Jau-hui ibarat bintang Jitsah(jenderal), membantunya menjebol benteng musuh dan menangani semua masalah dengan kekuatan seorang diri; Ong Siau-sik ibarat bintang Bokim(pasukan ujung tombak), memimpin pasukan untuk menyerbu ke medan laga dan berjaga disepanjang perbatasan. Sedangkan Yo Bu-shia lebih mirip bintang Thian-siang, menteri yang memegang cap kekuasaan sambil menyusun strategi, sementara Kwik Tang-sin serta To Lam-sin ibarat bintang pengawal Cho-bu, Yu-pit. Mengawal sambil membantu sana sini. Oleh karena itu kerjasama ke empat orang ini boleh dibilang merupakan rangkaian gelang yang saling berhubungan dan saling terkait, penjagaan maupun pertahanan mereka luar biasa ketatnya.

"Menghadapi kekuatan musuh yang begini tangguh, sebelum kita berhasil menemukan titik kelemahan dari kerja sama ini, bila melancarkan serangan balasan, kendatipun memiliki ilmu silat setangguh congtongcu pun tetap saja akan kalah dan hancur"

"Kalau begitu sekarang, kita hanya bisa menunggu datangnya kesempatan emas?" dengan sangat berhati hati Lim Koko bertanya.

"Sambil menunggu sembari menyulut api, menggali tanah, menyiram air, perkumpulan Kim-hong-si-yu-lou ibarat setumpukan kayu bakar, sekuat dan sekeras apa pun tak mungkin bisa bertahan lama, karena suatu saat rayap pasti akan muncul menggerogoti lapisan kayu itu, jadi kita pun harus menunggu.

"Asal kita menunggu dengan sabar, suatu saat pihak musuh pasti akan tak sabar, atau mungkin akan lengah, dalam keadaan begitu, besar kemungkinan situasi akan berubah jadi lebih menguntungkan pihak kita"

Ti Hui-keng masukkan sepasang tangannya ke balik baju, gerakan semacam ini sudah terbiasa dia lakukan semenjak Lui Sun masih hidup dulu, katanya lagi:

"Apalagi sekarang sudah ada orang yang pergi mencari Ong Siau-sik, Ong Siau-sik pun sudah membuat kesulitan atas orang lain"

Semenjak menderita kekalahan total setahun berselang, sikap Lim Koko berubah jadi lebih berhati hati, dalam menghadapi semua masalah, dia selalu berpikir dulu dengan seksama sebelum menjawab, hal yang tidak sepatutnya ditanya, dia tak akan bertanya, tapi hal yang perlu diketahui pasti akan ditanyakan sampai jelas.

Maka setelah berpikir sejenak, ia baru bertanya:

"Siapa yang sedang membuat gara gara dengan Ong Siau-sik?"

Dia sudah mempertimbangkan dengan jelas, Ti Hui-keng sengaja berkata begitu karena dia sedang menunggu pertanyaan dari dirinya.

Bila dia bertanya, Ti Hui-keng pasti akan menjawab.

Betul saja, Ti Hui-keng segera menjawab:

"Liong Pat thay-ya!"

Mencorong sinar terang dari balik mata Lim Koko setelah mendengar nama itu, barangsiapa berani mencari masalah dengan Liong Pat Thay-ya, maka selama hidupnya dia tak akan berani mencari gara gara lagi, bahkan tak bisa membuat gara gara lagi.

Siapa pun tahu siapa orang dibelakang layar yang menunjang Liong Pat selama ini. Bahkan orang pemerintahan sempat membuat pernyataan yang berbunyi begini: lebih baik menyalahi kaisar daripada menyalahi orang ini.

Lim Koko merasa amat bersyukur, merasa sangat gembira. Dia tahu, pertanyaannya memang sangat tepat.

------ Bila Ong Siau-sik telah menghadapi kesulitan sebesar ini, tentu saja dengan senang hati Ti Hui-keng akan menceritakannya kepada orang lain.

Maka kembali tanyanya:

"Gara gara siapa yang dicari Ong Siau-sik?"

Sekulum senyuman misterius tersungging diujung bibir Ti Hui-keng, senyuman tersebut membuat wajahnya tampak lebih sesat dan menakutkan.

"Sianseng!" jawabnya ringkas.

Biarpun senyuman menghiasi wajah Ti Hui-keng, namun hati kecilnya justru tingkatkan kewaspadaan.

Meskipun sudah cukup lama ia bekerja untuk Lui congtongcu, namun ia masih terbiasa menjadi seorang pengamat yang baik, setiap kali Lui congtongcu meminta pendapat dan sarannya, dia akan memberikan analisa serta mengajukan usul.

Tapi sekarang Lui Sun sudah tiada, walau begitu dia tetap menjaga sikapnya yang lama, minta saran dan pendapat dari anak buahnya, menggunakan kesempatan ini diapun mengemukakan pendapat sendiri.

Lalu apa maksudnya ia berbuat begini?

Bila anak buahnya lebih banyak mengenali dirinya, keuntungan apa yang dibawa mereka untuk dirinya?

Dengan membiarkan anak buah kelewat memahami tentang dirinya, sudah pasti akan mendatangkan ancaman bahaya yang amat besar. (Lui sun telah mati, sekarang dia menempati posisi Lui Sun, melakukan pekerjaan Lui Sun, sama sederajat kedudukannya dengan Lui Sun dulu).

"Dia adalah Lui Sun!"

"Kenapa hingga sekarang dia masih menjadi Ti Hui-keng!"

"Sekalipun dia masih tetap Ti Hui-keng, namun Ti Hui-keng yang sekarang sudah Ti Hui-keng yang dulu lagi!"

Sementara pikiran dan perasaan hatinya masih terombang ambing tak menentu, agaknya Lim Koko masih terperana oleh kata "sianseng" tadi, untuk sesaat dia tak berbicara, pun tak mampu mengajukan pertanyaan.

Bab 3. Munculnya bebek timpang.

Nyaris semua umpatan dan kata makian yang bisa dipergunakan telah dipakai Ong Siau-sik untuk mengumpat.

Dia telah kehilangan tabiatnya yang baik, terlebih kehilangan sifat sabarnya.

Un Ji bilang dia akan datang ke tokonya untuk membantu. Sesungguhnya dia tak terlalu repot, tapi begitu Un Ji datang, diapun benar benar jadi repot, karena dalam waktu setengah jam saja Un Ji sudah dua kali menumpahkan tinta baknya, mengotori tiga lembar lukisan, merobek selembar saputangan, memecahkan tiga botol obat, satu botol porselen dan dua botol kaleng.

Bahkan Un Ji telah salah menyerahkan resep obat kepada penderita sakit yang berbeda, coba kalau tidak segera ketahuan, mungkin akan terjadi kasus pembunuhan.

Sementara Un Ji memang memiliki kelebihan yang lain, pada saat yang bersamaan ia dapat menginjak seekor kucing tua yang ada dikedai Ong Siau-sik hingga menjerit kesakitan, lalu menginjak seorang pasien yang tempurung kakinya sedang di gips, bahkan ditengah jeritan keras sang kucing, ia telah menumbuk seorang wanita hamil sepuluh bulan yang sedang minum obat.

Ong Siau-sik nyaris membentak dan mengumpatnya berulang kali.

Tentu saja hanya "nyaris" dan belum dilakukan.

Biar begitu, Un Ji sudah moncongkan bibirnya sambil berkerut kening, hampir meledak isak tangisnya.

Malah sekarang ia sudah mulai menangis.

Akibatnya Ong Siau-sik semakin repot, pada hakekatnya dia begitu repot hingga kehabisan daya.

"Kau jangan menangis, kenapa musti menangis? Jangan menangis, mau bukan? Kalau kau menangis, orang akan menyangka aku telah menganiaya diri mu"

Sambil memberi penjelasan kepada Un Ji, diapun minta maaf kepada tamu tamunya bahkan terburu buru mengambilkan kain untuk menyeka pakaian wanita hamil yang basah oleh obat.

"Kau maki orang?"

"Tidak, aku tidak memaki" buru buru Ong Siau-sik membantah, karena dari luar pintu telah berjalan masuk seorang pasien lagi yang sendi tangannya lepas, "aku belum sempat memaki....."

"Tapi kau.... kau..... kau........." Un Ji menangis tersedu sedu, "sikapmu terhadapku telah berubah,........"

Isak tangis seorang gadis paling cepat mengundang perhatian orang, khususnya para tamu yang baru masuk dan tak tahu permasalahannya, beramai ramai mereka menegur kekasaran Ong Siau-sik.

Dalam keadaan begini, mau tak mau terpaksa Ong Siau-sik harus merendahkan nada sambil menahan rasa mendongkolnya, dengan lembut dia mencoba membujuk:

"Sudah, jangan menangis lagi"

Bukannya berhenti menangis, isak tangis Un Ji malah semakin menjadi, terpaksa Ong Siau-sik harus menghampirinya sambil memohon:

"Kumohon, bersediakah kau untuk tidak menangis lagi?"

Mendadak terdengar suara orang tertawa cekikikan, dari menangis kini Un Ji malah tertawa cekikikan, wajahnya yang masih basah dengan air mata tampak semakin menarik dalam keadaan seperti ini, untuk sesaat Ong Siau-sik hanya bisa berdiri tertegun.

"Hmm, akan kulihat apakah kau berani jahat lagi kepadaku?" ejek Un Ji sambil tertawa.

"Aku akan lebih bersyukur kalau kau tidak menggangguku" gumam Ong Siau-sik lirih.

"Apa kau bilang?" hardik Un Ji dengan kening berkerut.

"Aaah, tidak, aku tidak bicara apa apa" jawab Ong Siau-sik tergagap.

Un Ji berpaling mengawasinya lekat lekat, tatapan tajam yang membuat sekujur badan Ong Siau-sik merasa panas dingin dan sangat tidak leluasa.

"Sungguh?"

"Sungguh!"

"Tidak bohong?"

"Tapi jangan kau tatap aku dengan cara begitu"

"Kenapa? Aku tak boleh menatapmu?"

"Bukannya tak boleh......." Ong Siau-sik tidak melanjutkan, dia hanya menghela napas panjang.

"Lantas kenapa?" desak Un Ji lebih jauh.

"Tahukah, kau adalah seorang anak gadis?" terpaksa

"Kenapa dengan anak gadis?memangnya kalau anak gadis lantas tak boleh melihat orang?"

"Tahukah kau, tampangmu........" Ong Siau-sik benar benar merasa dirinya seakan sedang diinterogasi.

"Tampangku?" Un Ji mengulang sekali lagi, suara tertawanya mirip jeritan siluman rase, sambil bergendong tangan tanyanya:

"Kenapa dengan tampangku?"

Pada saat itu kembali ada seorang pasien patah tulang tangan kiri berjalan masuk, seakan bertemu bintang penolong, buru buru Ong Siau-sik pergi menemui pasiennya.

Un Ji sepertinya tak rela, kembali dia meluruk maju, setelah bosan melihat kesana kemari akhirnya dia menepuk bahu pemuda itu sambil menegur:

"Hey batu kecil, tahukah kau bagaimana keadaan A-hui ketika aku bermain dengannya kemarin?"

"Ooh, kemarin kau pergi mencarinya?" sahut Ong Siau-sik dengan nada lirih.

"Ehmm.!" Lagi lagi Un Ji tidak mendengar jelas, sambil tertawa dia maju menghampiri.

Ong Siau-sik segera mengendus bau harum semerbak dari tubuh si nona yang membuat perasaannya segar kembali, maka sahutnya:

"Ooh, tidak apa apa"

"Kenapa sih caramu bicara seperti setan makan lumpur, tak pernah jelas" omel Un Ji mendongkol.

Sedikit kurang hati hati, Ong Siau-sik turun tangan kelewat keras membuat sang pasien mendengus tertahan, mungkin saking sakitnya hingga tak sanggup bersuara. Buru buru pemuda itu minta maaf:

"Bukankah dia pun berkata yang sama dengan mu?"

Kembali Ong Siau-sik konsentrasi membetulkan tulang pasiennya yang terlepas.

"Hmm, manusia yang bisa terbang itu..... dia..... hmmmm!"

"Apa yang dia katakan?"

"Dia bilang........." bicara sampai disini, seakan jengkel sekali Un Ji menggigit bibirnya keras keras, "tahukah kau apa yang dia katakan kemarin? Dia minta aku jangan memandangnya secara begitu, dia pun bilang, dia bisa memakan aku. Aku rasa dia sudah gila karena kelaparan, tiap hari hanya sibuk dan sibuk diatas loteng, persis sama seperti kau, sedikit pun tak punya perasaan sebagai manusia"

"Hmm, memangnya tidak kau lihat, aku pun sedang sibuk sekali" dengus Ong Siau-sik.

Kebetulan masuk lagi seorang pasien yang tengkuknya terluka, biar terluka orang itu sama sekali tak mengeluh, sekilas pandang pun dapat diketahui kalau dia adalah seorang jagoan kangou yang terluka gara gara berkelahi.

"Hmm, kalian semua pada sibuk, hanya aku sendiri yang menganggur, tak ada pekerjaan" keluh Un Ji cemberut.

"Kalau begitu carilah jiko dan ajak dia bermain"

"Huuh, aku mah gak sudi cari dia, tampang sok mikirin negeri itu persis merupakan pasangan ideal buat toako yang saban hari murung, mereka lebih suka membaca setumpukan laporan sambil bicara taktik perang daripada memikirkan urusan lain. Manusia macam begitu mana tahu mencari kesenangan"

Bicara sampai disini kembali Un Ji jadi riang, terusnya:

"Masih mending nona mu yang jauh lebih pintar, cari kesenangan dikala masih bisa"

Ong Siau-sik berusaha menahan gelak tertawanya.

"Kenapa kau tidak mencari nona Lui dan mengajaknya bermain?"

"Dia?" bisik Un Ji kuatir, "sejak malam itu.........."

Tiba tiba ia menutup mulut sendiri dengan kedua belah tangan, wajahnya agak takut, seakan kuatir kalau ditegur orang.

"Ada apa?" tanya Ong Siau-sik dengan kening berkerut.

"Aaah tidak apa apa......" sahut Un Ji kemudian sambil menurunkan kembali tangannya.

Ong Siau-sik pun tidak mengambil perhatian lagi.

Kini perhatiannya sedang tertuju pada pasiennya yang muncul makin lama semakin banyak, bahkan hampir sebagian besar pasiennya menderita luka lepas tulang, luka terkilir dan lain sebagainya.

Kalau dilihat dari keadaan para pasien, jelas luka mereka bukan akibat kurang berhati hati, melainkan sengaja ada orang yang melukai orang orang tersebut.

Walau begitu, tidak susah untuk menyembuhkan luka semacam ini, apalagi ilmu sangkal putung yang dimiliki Ong Siau-sik memang termasuk sangat hebat.

Para pasien bisa menahan sakit, diapun mengobati dengan cara yang tidak terlalu berat.

Tapi mengapa secara tiba tiba bisa muncul orang terluka sebanyak ini? Apa yang telah terjadi?

Dilihat sepintas, orang orang itu jelas merupakan para jagoan dunia persilatan, atau jangan jangan di kotaraja telah terjadi bentrok antar partai atau perkumpulan?

Sementara dia masih berpikir dengan sangsi, tiba tiba tampak seorang sastrawan berwajah bersih dan cerah berjalan masuk dengan santainya, ia berjalan masuk sambil menggoyangkan kipasnya, dari gerak gerik orang itu, bisa disimpulkan ia datang untuk berpesiar, bukan sebagai pasien.

Sambil melangkah masuk segera teriaknya:

"Enghiong takut penyakit, orang pintar takut sakit, mana tabibnya? Aku datang untuk memeriksa sakit"

Begitu orang itu berjalan masuk, sebagian besar 'pasien' segera menundukkan kepalanya dan beranjak pergi dari situ dengan sorot mata takut bercampur gusar.

Ong Siau-sik segera menemukan kalau sebagian 'pasien' yang pergi itu tak lain adalah para korban luka patah tulang.

Diapun menjumpai kalau air muka pemuda itu tampak amat segar, jangankan tidak membawa luka, mungkin sakit perutpun tak mungkin menyerangnya.

Selain itu, diapun menjumpai sastrawan itu melirik wajah Un Ji berulang kali sewaktu berjalan masuk ke dalam ruangan, sementara Un Ji membalasnya dengan anggukan kepala dan tersenyum manis.

Berkobar api amarah Ong Siau-sik, setengahnya karena cemburu.

Dia sendiri tak tahu mengapa begitu, tiba tiba saja ia merasa tak sanggup mengendalikan hawa amarahnya. Ia sangat mendongkol, teramat sangat mendongkol.

Sementara itu sang sastrawan telah bergerak menuju tepi dinding dan menikmati setiap lukisan dengan penuh perhatian, seolah dia adalah seorang ahli lukisan saja.

“Ehmmm, lukisan bagus, lukisan bagus!” puji sastrawan itu tak habisnya, “gaya tutulisannya bagus dan menawan, seakan orang setengah mabuk sedang memetik khiem, dari balik guratan huruf terselip jiwa yang kuat”

“Ketajaman mata yang luar biasa, ketajaman mata yang luar biasa!” dengus Ong Siau-sik.

“Terima kasih” kembali sastrawan itu berpaling seraya menjura, “sayang itu bukan tulisan dari Ji-khong, melainkan gaya dari Ciong Yau, gaya tulisannya ibarat burung yang terbang di angkasa, seperti bianglala yang menghiasi garis lautan, sungguh indah dan ternama”

“Aaai, sayang pandanganmu kurang tepat” sela Ong Siau-sik menimpali, “hanya gaya tulisan yang kau lihat tapi bukan lukisannya, kritikanmu memang terhitung lumayan, hanya sayang belum kau perhatikan tulisan nama penulisnya”

“Hahaha... ternyata gaya tulisan Ciong Yau, makin lama gaya tulisannya makin mirip dengan Ji Khong, hahaha..... gaya tulisan seindah ini, kenapa musti digantung ditempat yang gelap? Ibarat sekuntum bunga mawar ditancapkan diatas gundukan tahi kebo, keterlaluan, sungguh keterlaluan”

“Mau apa kau datang kemari?” tegur Ong Siau-sik dengan wajah dingin.

“Apa kerjamu disini?”

“Aku seorang tabib” sahut Ong Siau-sik, kemudian sambil menunjuk lukisan diatas dinding, lanjutnya, “setelah jiko ku meninggalkan usaha toko lukisannya, aku pun menggantikan posisinya”

“Akan kau jual lukisan dari Ciong Yau itu? Aku rasa hanya lukisan itu yang berharga”

Ong Siau-sik tertawa.

“Tidak, tak satu lukisanpun yang akan kujual” katanya, “tak kusangka kau begitu pandang rendah Ong Si-ci”

“Apa? Aku pandang rendah Ong Si-ci?” teriak sastrawan itu sambil menuding hidung sendiri, “gaya tulisannya gagah dan kuat ibarat naga menembusi pintu surga, seperti harimau mendekam dalam gua, semua orang memujanya, tapi kau seperti sentimen denganku?”

“Bukan aku sentimen, justru karena kau hanya menghargai Ciong Yau dan tidak menghargai Ong Si-ci”

Kemudian sambil menuding ke arah lain, lanjutnya:

“Lihat tuh, disamping kanan lukisan Ciong thaysu adalah lukisan dari Ong Si-ci”

Kali ini sang sastrawan tidak membantah lagi, agaknya dia ingin menggunakan kesempatan itu untuk meredakan suasana.

Kali inipun Ong Siau-sik tidak mendesaknya lagi.

“Kedatanganmu kali ini untuk membeli lukisan, atau untuk periksa penyakit?” tanyanya kemudian.

Sastrawan itu tertawa, tersenyum sambil memperlihatkan bibirnya yang merah dengan sebaris giginya yang putih.

“Sebenarnya ingin membeli lukisan, sayang lukisan indah tak kau jual, sementara lukisan kelas kambing aku ogah membelinya, terpaksa aku datang untuk periksa badan”

“Jadi kau sakit?”

“Hahaha... aneh, Tabibnya kau, malah aku yang musti menjawab pertanyaanmu”

Ong Siau-sik duduk sambil persilahkan tamunya ikut duduk.

“Coba julurkan lidahmu” perintahnya.

“Julurkan lidah? “ sastrawan itu melengak, “kau sangka lidahku berwarna biru?”

“Pernah dengar kalau periksa penyakit lewat lidah? Baiklah, kalau tidak biarkan aku periksa, akan kubukakan resep cuci perut saja, sampai waktunya, jangan salahkan aku”

“Baik, baiklah, apa takutnya perlihatkan lidahku”

Ong Siau-sik periksa lidahnya, kemudian memeriksa denyut nadi tangannya, baru keningnya berkerut, tiba tiba terdengar suara tertawa ringan, begitu berpaling, dilihatnya sastrawan itu sedang bermain mata dengan Un-ji.

Kontan saja timbul api cemburu dalam dada Ong Siau-sik, pikirnya:

“Sialan, orang ini sudah jelas datang untuk menggaet Un-ji.....”

Belum hilang pikiran tersebut, mendadak tampak sastrawan itu membalikkan tangannya berganti mencengkeram urat nadi ditangannya.

Baru saja Ong Siau-sik akan berdiri, lagi lagi sastrawan itu menginjak sepasang kakinya kuat kuat, membuatnya tak sanggup berdiri.

Kejadian ini kontan menyulut api kemarahan Ong Siau-sik, tak terbendung semua kegusarannya meluap.

Pada dasarnya dia sudah amat mendongkol, ditambah lagi kena bokongan sastrawan itu, meski tahu jika dia melakukan perlawanan dengan sepenuh tenaga maka akibatnya sepasang pergelangan kakinya bakal lepas sendi seperti apa yang dialami para korban lainnya, namun tanpa berusaha melepaskan diri, jelas badannya bakal mati kutu.

Baru saja sastrawan itu bersiap menginjak kakinya sekuat tenaga, cepat Ong Siau-sik menekan sikutnya ke bawah, menghajar permukaan meja, begitu meja tersebut retak lalu hancur, lengan Ong Siau-sik lurus ke bawah sementara tangan kanannya ikut membetot.

Tidak mengira tindakan lawan, cengkeraman sastrawan itu jadi lepas dan gagal menahan tindakan lawan, langsung saja tinju Ong Siau-sik menghajar lutut kiri sastrawan itu.

Terdengar sastrawan tersebut menjerit kesakitan, begitu keras jotosan tersebut membuat ia kesakitan setengah mati, bukan hanya ingusnya yang meleleh, air mata pun ikut membasahi matanya.

Menggunakan kesempatan ini, lagi lagi Ong Siau-sik menggerakkan sepasang tangannya mencengkeram bahu lawan, hardiknya:

“Bocah keparat, kau berani membokong orang lain!”

Cengkeraman itu jelas mengancam bahu kanan sastrawan tersebut, siapa sangka pandangan mata terasa kabur, tahu tahu orang itu sudah lolos dari ancamannya selincah ikan belut.

Gagal dengan serangan bokongannya membuat sastrawan itu kena hajaran, kejadian ini sebetulnya membuat Ong Siau-sik pandang enteng musuhnya, ia baru tertegun setelah menyaksikan keindahan gerakan tubuh lawan.

Untung sastrawan itu sudah termakan pukulan yang membuatnya kesakitan setengah mati dan tak mampu bergerak cepat, dengan satu tendangan cepat Ong Siau-sik menghajar bangku bambu yang semula diduduki orang itu hingga meluncur ke depan.

Kuatir bangku itu melukai kembali tempurung kakinya, cepat sastrawan itu menyongsong datangnya ancaman dengan tangan.

Terasa segulung tenaga besar menggulung tiba, begitu kuat tenaga dorongannya membuat ia sedikit sempoyongan.

Kembali Ong Siau-sik membentak keras, satu pukulan sekali lagi dilontarkan ke muka.

Buru buru sastrawan itu menangkis datangnya ancaman dengan kursi bambu.

“Praaaak......!” terdengar suara bambu retak dan remuk, diiringi teriakan keras sastrawan itu:

“Jangan..... jangan..... jangan...........”

Lagi lagi segulung tenaga besar menggulung tiba, ia tak mampu berdiri tegak lagi, badannya mencelat sejauh tujuh langkah, punggungnya menumbuk diatas dinding, berapa lukisan yang tergantung disana pun jatuh berguguran.

Dengan satu loncatan cepat Ong Siau-sik merangsek ke muka, lagi lagi ia cengkeram bahu kanan orang itu.

“Kau lukai banyak orang hingga patah tulang, akan kupatahkan juga tulangmu biar tahu rasa” ancamnya.

“Hei batu kecil, kau benar benar akan melakukannya?” tiba tiba terdengar Un-ji berteriak keras.

“Siapa bilang bukan sungguhan?”

Tiba tiba terdengar sastrawan itu menjerit:

“Kalau berani melukai aku, akan kurobek lukisan ini!”

Ong Siau-sik betul betul dibuat tertegun, mau marah tak bisa mau menangis pun enggan. Ternyata gagal meloloskan diri dari cengkeramannya, sastrawan itu segera menyambar lukisan Ciong Yau dari atas dinding kemudian mengancam akan merobeknya.

Bukan bertambah marah, ulah orang itu justru membuat hawa amarah Ong Siau-sik sedikit mereda, ancamnya:

“Kau berani merobek lukisanku, akan kupatahkan tulang tengkukmu, biar kau hidup lemas sepanjang hari, persis seperti keadaan Ti Hui-keng dimasa lalu”

Tiba tiba bayangan hitam berkelebat lewat, lalu terdengar seseorang berteriak nyaring:

“Hey batu besar, berani kau lukai dirinya, akan kubakar tokomu!”

Begitu berpaling, Ong Siau-sik segera menjumpai Tong Po-gou yang tinggi kekar telah berdiri dihadapannya, dengan keheranan dia lepaskan cengkeraman dari tubuh lawan, kemudian sambil bertepuk tangan tegurnya:

“Sebenarnya siapakah orang ini? Kenapa kalian semua membelanya?”

Mendadak satu ingatan melintas lewat, membayangkan keindahan gerak tubuh lawan meski lututnya sedang terluka, ia segera teringat akan seseorang:

“Hahh....... gerakanmu tadi jelas gerakan tubuh kuda putih melintasi perbatasan, jadi kau..... kau adalah Pui Heng-sau?”

Masih berjongkok sambil memijat lututnya yang terluka, gumam sastrawan itu:

“Oooh Mama..... untungnya aku adalah Pui Heng-sau beneran, hanya sayang aku orang she-Pui kenapa hanya punya dua kaki.......”

Ong Siau-sik tak bisa menahan rasa gelinya lagi, dia segera menegur:

“Apa yang sebenarnya telah terjadi? Mana Thio Tan?”

Sementara itu Un-ji sudah tertawa terpingkal pingkal begitu melihat ulah Pui Heng-sau yang kesakitan, saking gelinya sampai untuk sesaat dia tak mampu menjawab pertanyaan Ong Siau-sik.

Dengan jengkel Pui Heng-sau melotot sekejap kearah gadis itu, protesnya:

“Kau masih bisanya tertawa, semua ini gara gara ulahmu”

Un-ji tertawa cekikikan.

“Aku mana tahu kalau kemampuanmu begitu jelek, huuh, masih bilang kalau tak mampu mengalahkannya, kau akan andalkan ilmu meringankan tubuhmu yang hebat untuk kabur..... hahaha... coba lihat keadaanmu sekarang...... hahaha.....”

“Kenapa?” teriak Pui Heng-sau.

Un-ji tidak menjawab, dia malah membisikkan sesuatu ke sisi telinga Tong Po-gou.

“Apa dia bilang?” desak Pui Heng-sau.

Sambil tertawa tergelak sahut Tong Po-gou:

“Hahahaha..... dia bilang kau mirip sekali dengan bebek timpang”

Sebagaimana diketahui, Tong Po-gou dan Pui Heng-sau adalah saudara angkat dalam kelompok lima perompak, dalam keseharian mereka selalu ribut dan bergurau, tak ada urusan kecil atau besar yang bisa dilewatkan dalam keadaan damai, tapi begitu menghadapi urusan mati hidup, mereka akan bertarung bahu membahu dan membela rekannya hingga titik darah penghabisan.

Sudah sejak lama Tong Po-gou maupun Pui Heng-sau kenal dengan Un-ji. Bisa dibayangkan bagaimana onarnya dunia ketika si nona yang lembut tapi bertemperamen tinggi berkolabulasi dengan Tong Po-gou yang suka bikin onar, Pui Heng-sau yang suka membuat gara gara ditambah Thio Tan yang besar rasa ingin tahunya dan suka mencampuri urusan orang lain.

Antara Tong Po-gou, Thio Tan dengan Ong Siau-sik sudah lama terjamin persahabatan, sementara Pui Heng-sau hanya pernah mendengar nama Ong Siau-sik namun belum pernah menjumpainya, ketika mendengar Un-ji begitu memuji kebaikan hatinya, Tong Po-gou memuji akan kesetiakawanannya dan Thio Tan memuji akan keakraban persahabatan mereka, Pui Heng-sau merasa sangat tidak puas, dia bertekad ingin menguji kehebatan orang itu.

“Aaah, apa hebatnya Ong Siau-sik” begitu dia sesumbar, “coba dia tidak menggunakan golok kerinduan, pedang pembetot sukma, cukup andalkan kelima jariku pun sudah dapat kubekuk dirinya”

Mendengar itu Thio Tan segera menyela sambil tertawa:

“Hahaha.. jangan kau sangka dia tak berkemampuan, biar umurnya masih muda, kungfu maupun ilmu pengetahuannya sangat hebat. Kalau So Bong-seng dan Lui Sun hanya tahu mempertahankan kekuasaannya habis habisan, Pek jau-hui dan Ti Hui-heng hanya punya ambisi besar, pada awalnya terangsang oleh ambisi tapi pada akhirnya diperbudak oleh ambisnya juga, tidak seperti Ong Siau-sik, dia bisa menerima kelebihan, bisa juga melepaskannya, tahu mundur setelah berhasil, bahkan sekarang menjadi tabib di kotaraja membantu orang banyak, menjual lukisan sambil hidup santai, lebih baik kau tak usah mencari penyakit”

Meledak amarah Pui Heng-sau sesudah mendengar perkataan itu, teriaknya:

“Ketika berjalan di air tidak menghindari terkaman sang naga, itulah keberanian seorang nelayan, berjalan di darat tidak kabur sergapan harimau, itu lah keberanian seorang pemburu. Aku ingin coba menimbang kemampuan Ong Siau-sik, ingin tahu berapa bobot badannya dan membuktikan sampai dimana keberanianku”

“Bagus, bagus” seru Un-ji sambil bertepuk tangan gembira, “kalau begitu menyamarlah sebagai orang sakit dan jajal kemampuannya, kalau memang terbukti kau sanggup membanting batu cadas itu, aku berjanji akan menyayangimu”

Umpakan tersebut seketika membuat Pui Heng-sau merasakan pipinya jadi panas, tapi semakin membulatkan tekadnya untuk menjajal kehebatan Ong Siau-sik.

Pada dasarnya Un-ji memang ingin sekali menemukan orang yang mampu menghajar Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui, memberi pelajaran yang setimpal kepada kedua orang itu karena selama ini tak pernah pandang sebelah mata terhadap dirinya sebagai si nona besar.

Thio Tan tidak berusaha mencegah, hanya ujarnya sambil tertawa:

“Kalau memang nekad ingin cari apes, silahkan saja, aku mah tidak ikut ikut”

Sebaliknya Tong Po-gou merasa sedikit sangsi, katanya:

“Hey kutu buku, kalau sampai kau dihajar si batu kecil, siapa yang harus kubantu?”

Mendengar itu, Pui Heng-sau merasa hatinya makin panas, teriaknya sambil menggertak gigi:

“Kau tak usah kuatir, lihat saja buktinya besok, siapa yang bakal merangkak ditanah”

Maka dia pun bersekongkol dengan Un-ji untuk membuat perangkap terus, tentu saja tujuan utamanya bukan ingin melukai sendi tulangnya, tapi hanya ingin membekuknya.

Siapa tahu begitu bertarung, dalam waktu singkat Ong Siau-sik telah berhasil menguasai keadaan, bukan saja tidak terluka, marah nyaris melukai tempurung lawannya, coba bukan dicegah Tong Po-gou dan Un-ji tepat pada saatnya, bisa dipastikan Pui Heng-sau bakal menderita kerugian yang lebih besar.

Dengan nada tak suka hati Ong Siau-sik kembali berkata:

“Kali ini aku sampai bermain kasar dengan Pui kongcu, semuanya tak lain karena kesalahanku. Un-ji, saudara Tong, tidak seharusnya kalian bikin keonaran, masih untung bertemu aku, coba kalau sampai kebentur Pek jiko, bisa jadi bakal ada nyawa yang melayang”

Waktu itu Pui Heng-sau masih tak senang gara gara kalah ditangan lawannya, begitu mendengar ucapan Ong Siau-sik, segera selanya:

“Untuk sementara waktu anggap saja kemampuan kita memang berimbang, menang kalah belum ketahuan hasilnya, coba kalau bukan keusilan mereka, mungkin akulah yang bakal tak enak hati karena telah melukai saudara Sik. Oya... masih ada juga Pek loji, pasti sampai waktunya akan kujajal juga kehebatannya, jangan kuatir, aku berjanji tak akan menggunakan jurus pemungkas, apalagi sampai membunuhnya”

Dari pembicaraan tersebut, Ong Siau-sik segera dapat memahami tabiat dari sastrawan itu, buru buru katanya:

“Aaah benar juga, baru saja nyaris aku kena dilukai Pui kongcu, tapi kau musti hati hati, Pek jiko punya perangai yang lebih keras daripadaku, dia bertemperamen tinggi, tak tahan kalah, lebih baik Pui kongcu memberi muka kepadaku dan lepaskan dia”

“Aku memang tak suka kelewatan memojokkan orang, terhadap siapa pun aku selalu ramah” Pui Heng-sau manggut manggut senang, “kalau toh kau telah berkata begitu, baiklah, biar kutunda sementara waktu rencana tersebut”

“Waah, kalau begitu terima kasih banyak” seru Ong Siau-sik tertawa geli.

“Terima kasih untuk apa?” tanya Pui Heng-sau marah.

“Eeei, bukankah kau sudah bersedia tidak mengusik jiko ku lagi?”

Tiba tiba Pui Heng-sau tertawa, dengan nada penuh sendiran katanya:

“Aku sudah berterima kasih sekali bila ia tidak datang mencari masalah denganku, buat apa kau harus berterima kasih?”

“Ooh, kalau begitu aku harus berterima kasih karena kau telah mengampuni nyawanya”

“Mengampuni nyawanya?” Pui Heng-sau angkat wajahnya, “kau serius?”

“Seriuslah, bayangkan saja, bila tadi kau menyerangku dengan lebih keras, bukankah saat ini aku sudah tergeletak lemas?”

“Aaai, karena kau telah berkata begitu, rasanya akupun jadi malu untuk mengakui semuanya itu dengan tebalkan muka. Betul aku orang she-Pui tak becus, namun tidak sampai begitu memalukan hingga menyangkal kenyataan yang sebenarnya” kata Pui Heng-sau terus terang, “harus kuakui, dalam pertarungan tadi, kaulah yang mengalah untukku, kejadian ini sudah kuterima dengan iklas, jadi kau tak perlu mencoba untuk menghiburku lagi”

Untuk sesaat Ong Siau-sik jadi terbungkam, dia tak tahu apa yang musti dikatakan.

Tong Po-gou yang berada disampingnya cepat menimpali:

“Hahaha,...... tak kusangka si Pui kecil bersedia mengaku kalah, betul betul salju dibulan enam, matahari ditengah malam”

Dengan jengkel Pui Heng-sau melotot sekejap ke arahnya.

“Kalah tetap kalah, kenapa musti diingkari?” teriaknya, “aku mah tidak seperti kau si kebo bebal, sudah kalah tapi tak berani mengakui, sampai mati pun ingin belai nama sendiri. Ingat kata kata Khong Hu-cu: Selama kau tidak menyalahi langit, selama kau tidak melakukan hal yang memalukan terhadap sesama manusia, hidup bebas terbuka, apalah salahnya. Hmm, tidak macam kau, bisanya hanya mencuri seperti tikus, merampok seperti anjing............”

Baru saja Tong Po-gou akan meradang, tiba tiba terdengar Un-ji bergumam:

“Tidak menyalahi langit, tidak melakukan hal yang memalukan terhadap sesama manusia......................”

“Eeei kenapa kau? Bukan kerasukan bukan?” Tong Po-gou segera menegur keheranan.

“Hahaha.... di musim dingin yang begini segar, masa ada orang kerasukan?” sela Pui Heng-sau sambil tertawa.

Tiba tiba terdengar Un-ji berteriak lagi:

“Betul, tidak bakal salah: Tidak menyalahi langit, tidak melakukan hal yang memalukan terhadap sesama manusia, ucapan ini pernah kupelajari, rasanya diucapkan oleh Beng-cu, bukan Khongcu!”

Merah jengah selembar wajah Pui Heng-sau, merasa sulit untuk berkelit, terpaksa katanya:

“Masa tadi aku bilang begitu?”

“Betul, kau berkata begitu” teriak Tong Po-gou cepat.

“Huhh, Khongcu atau Bengcu sama sama berasal dari satu aliran, kenapa ucapan mereka musti dibedakan? Iseng benar kamu!”

“Mengerti aku sekarang” Tong Po-gou manggut manggut.

“Baguslah kalau sudah mengerti”

Tong Po-gou menyeringai sambil tertawa mengejek.

“Eeei, jika Khongcu dan Bengcu berasal dari satu keluarga, berarti antara kau dan akupun tak ada bedanya, kenapa kau tidak ikut margaku saja, bagaimana kalau namamu dirubah jadi Tong Heng-sau?”

Sekali lagi Pui Heng-sau meradang, belum lagi mengumbar rasa dongkolnya, mendadak terdengar Ong Siau-sik menyela:

“Hey mana Thio Tan? Kenapa tak nampak manusianya?”

Un-ji segera ikut celingukan, udara dingin mencekam diluar pintu, apalagi salju belum lama turun dengan derasnya, seluruh permukaan jalan, ranting pohon, atap rumah dilapisi bunga salju tebal, bahkan batu kerikil didepan pintu pun tertutup salju.

“Betul juga” serunya kemudian, “kemana dia? Kenapa belum nampak batang hidungnya?”

Baru saja ucapan itu selesai diutarakan, dari ujung jalan sudah terlihat sebuah kereta bertirai hitam telah bergerak menuju depan toko, begitu berhenti, tirai kereta disingkap orang dan seseorang munculkan diri, ternyata dia tak lain adalah Thio Tan.

“Hei arang sialan” begitu bertemu Un-ji segera menegur sambil tertawa, “kenapa baru muncul sekarang? Banyak adegan hebat yang kau lewatkan!”

Thio Tan tidak menanggapi, malah dengan sikap acuh serunya:

“Ong kongcu, silahkan naik kereta”

Ong Siau-sik terperangah, selama ini Thio Tan selalu menyebutnya si batu kecil, kenapa secara tiba tiba memanggilnya kongcu pada hari ini?

“Naik kereta? Kenapa musti naik kereta?” tanyanya kemudian.

“Naik saja dulu baru kita bicarakan” jawaban Thio Tan tetap lemas tak bertenaga.

“Hore, bagus sekali” tereak Un-ji sambil bertepuk tangan gembira, “mumpung ada kereta, kita bisa berpesiar ke biara Tah-hud-si”

Cepat Thio Tan menggeleng.

“Hey arang hitam, kenapa dengan dirimu hari ini?” tegur Un-ji semakin tercengang.

Lagi lagi Thio Tan mengangguk tanpa menjawab.

“Hei arang hitam, apa apaan kamu ini?” hardik Tong Po-gou pula dengan suara nyaring.

Tiba tiba Thio Tan mengangkat badannya ke depan, dia seperti ingin angkat kepala sambil busungkan dada, tapi sayang gerak geriknya tidak leluasa.

“Aku...... aku tidak apa apa” terdengar dia menyahut, “Ong kongcu, silahkan naik kereta”

“Kita mau ke mana?” tak tahan Ong Siau-sik bertanya.

Mendadak Thio Tan menjulurkan lidahnya sambil mengerdipkan matanya berulang kali.

Seseorang yang lemas tak bersemangat, tiba tiba melakukan tingkah laku seperti begini, jelas keanehan tersebut sudah mencapai pada puncaknya, menyusul kemudian paras muka Thio Tan pun pulih jadi normal kembali.

Matanya yang bulat, hidungnya yang bulat, telinganya yang bulat, dagunya yang bulat, kesemuanya terlihat seperti gundukan nasi yang bulat, apa mau dikata ia justru memiliki alis mata yang tebal, sikap yang luar biasa sewaktu berpikir, biar tidak sedang berpikir pun ia tampil alim bagaikan perawan, tenang bagaikan bukit karang.

Terlebih sewaktu berbicara, suaranya lemah lembut seolah sama sekali tak bertenaga:

“Naik saja dulu, kau bakal tahu dengan sendirinya!”

“Tapi aku belum tutup toko!”

“Tutup saja sekarang, bukankah beres?”

Tiba tiba Tong Po-gou menyela:

“Kenapa kau sendiri tidak masuk dan duduk sebentar?”

Ucapannya disampaikan sangat lamban, pun amat berhati hati.

Jawaban Thio Tan sendiripun sangat lamban, sangat berhati-hati:

“Sekarang, saking lelahnya aku hanya ingin mencari sebuah lubang gua, peduli mau tembus ke mana lorong gua itu, kalau harus tersiksa macam begini setiap hari, tak bisa mengendalikan diri untuk berkelana diluar, tapi tak ingin pula menyesal dan tapa menghadap dinding setelah terjatuh ke tangan orang, kehidupan manusia memang dari tiada menjadi ada, baik musuh atau sahabat, semuanya sama saja”

Menyusul kemudian dia melanjutkan:

“Toako, jiko, samko, kalian semua jangan marah”

Perkataan ini disampaikan sangat cepat, kata demi kata diucapkan bagaikan berondongan mercon, sama sekali tak mirip nada orang yang minta orang lain jangan marah.

Walau begitu, dia telah berkata dengan sangat teliti, sangat berhati hati, setiap patah kata selalu diselingi jeda sebelum dilanjutkan, seakan setiap patah katanya merupakan vonis hukuman untuk seseorang, setiap kata menentukan mati hidup orang lain sehingga tak boleh salah.

Tapi sayangnya Ong Siau-sik maupun Un-ji tidak paham, tidak mengerti.

Apa yang sebenarnya dikatakan Thio Tan? Apa maksud dari ucapannya yang seperti mengerti tapi tak mengerti itu?

Ternyata Pui Heng-sau seolah memahami perkataan itu, dengan sikap yang amat berhati-hati ia balik bertanya:

“Jadi dalam perjalanan tempo hari, kaukah orang yang tak berani menyelamatkan nyawa seorang manusia pun?”

Ucapan apa lagi ini? Bingung, tidak jelas.

Un-ji tak bisa mengendalikan diri lagi, segera teriaknya:

“Hei, apa yang sedang kalian bicarakan?”

Pui Heng-sau segera berpaling, balik tanyanya:

“Si arang sialan hanya ingin mengundang si batu kecil pergi ke suatu tempat, dia sama sekali tidak pandang sebelah mata kepada kita, coba bayangkan, menjengkelkan tidak?”

“Menjengkelkan, sangat menjengkelkan!” sahut Un-ji tanpa berpikir panjang.

Tampaknya Pui Heng-sau telah menduga akan jawaban dari gadis itu, bersama Tong Po-gou segera serunya:

“Un-ji pun mengatakan dia pantas dihajar!”

Sambil menjinjing jubahnya Tong Po-gou maju dengan langkah lebar, umpatnya pula terhadap Thio Tan:

“Setan arang, ayoh turun, cepat turun, biar kuberi pelajaran dulu kepadamu”

Un-ji merasa sedikit tak mengerti, selanya:

“Masksudku.........”

Tiba tiba Pui Heng-sau menyelinap kehadapan kereta, serunya kepada Un-ji:

“Nona Un, kau tak usah menangis, arang hitam ini sangat memuakkan, biar kuhajar si arang hingga hancur bersama salju, kau tak usah mendongkol lagi”

Habis berkata dia menerjang ke muka, gerak tubuhnya benar benar cepat hingga sukar dilukiskan dengan perkataan, tapi sayang ada orang lain yang jauh lebih cepat lagi, tahu tahu orang itu sudah menerjang ke hadapan Thio Tan dan melepaskan sebuah jotosan maut ke wajahnya.

Orang itu tak lain adalah Tong Po-gou!

“Hei, apa apaan kalian?” jerit Un-ji makin cemas.

Ketika bogem mentah Tong Po-gou segera akan mampir diwajah Thio Tan itulah mendadak Pui Heng-sau menggerakkan tangannya, mengempit tubuh Thio Tan dan melesat kearah luar.

Hantaman maut yang dilontarkan Tong Po-gou seketika menghajar telak diatas kereta kuda.

“Blaaaam!” kereta kuda itu hancur dan roboh seketika.

Pada saat Pui Heng-sau melejit ke samping sambil mengempit tubuh Thio Tan itulah, tiba tiba berkilat dua cahaya putih yang tajam menyilaukan dari balik ruang kereta.

Berada ditengah udara Thio Tan membalikkan tangannya seakan melepaskan pula satu pukulan, tapi segera terdengar suara dengusan napasnya yang berat.

Sementara itu tubuh Pui Heng-sau yang sedang melambung pun ikut bergetar keras.

Disaat Ong Siau-sik melihat datangnya kilatan cahaya putih yang menyilaukan mata, ia segera tersadar atas apa yang terjadi.

Aaah, ternyata begitu:

Dia menyesal, mengapa hal ini tidak diketahuinya semenjak tadi.

Bab 4. Akhir dari si tiga bilah golok.

Kereta sudah roboh, kuda sudah kabur sambil meringkik, pada saat itulah lagi lagi satu kelebatan cahaya golok membelah angkasa.

Cahaya golok yang sangat cepat, gerak serangan yang kilat.

Tong Po-gou meraung penuh amarah, satu sodokan tinju dihentakkan ke muka, sodokan langsung mengarah cahaya golok.

-------- Sebetulnya mata golok lebih tajam, atau kepalan lebih keras?

-------- Sabetan golok lebih cepat, atau pukulan tinju Tong Po-gou jauh lebih kilat?

Bagi Tong Po-gou, dia memang tak punya pilihan lain.

Dengan jelas dia tahu siapa yang berada dalam kereta, namun tidak berusaha untuk menghindarinya.

Bagi dia pribadi hanya ada satu jalan saja, maju menyongsong ancaman musuh dan bertarung melawannya.

Biar harus mendaki bukit golok menyeberangi lautan api pun dia tak jeri, bila ingin selamat dari kematian, berjuanglah dalam ancaman maut lawan.

Tentu saja diapun tahu kalau sabetan golok itu luar biasa hebatnya, sangat menakutkan.

Meski diapun memiliki sepasang kepalan baja, tapi sabetan golok itu pernah membelah sebuah tameng tembaga seberat seratus dua puluh kati, membuat tubuh Thi-ta toojin, salah satu dari empat toa hiocu perkumpulan Jit-pang-ji-hwe-kiu-lian-beng (tujuh perkumpulan sembilan sekutu) yang berada dibalik tameng tersebut terbelah jadi dua dengan batok kepala berpisah dari badan.

Rasanya bacokan maut golok itu bukan serangan yang bisa dihadang dengan kepalan bajanya, tapi mustahil baginya untukmenyusut mundur dari situ.

Pui Heng-sau baru saja menyelamatkan nyawa Thio Tan, bahkan tubuh mereka berdua belum lagi menginjak tanah, tak mungkin dia membiarkan orang dalam kereta melancarkan serangan kearah mereka.

Dalam keadaan begini terpaksa ia harus menyambut datangnya bacokan golok itu, menyambut dengan kepalannya, menerima dengan nyalinya yang besar.

Biarpun dia mempunyai julukan sebagai “Kepalan baja”, namun dalam kenyataan kepalannya tetap terdiri dari darah dan daging, daging yang tak mungkin bisa menandingi ketajaman serta keampuhan sebilah golok baja.

------ Mungkinkah bacokan itu segera akan memenggal kutung sepasang kepalan baja milik Tong Po-gou?

Tak ada yang bisa menjawab.

Sebab pada saat yang bersamaan ada sebilah golok yang sedang menyambar pula ke tengah arena, membacok tepat ke arah golok itu.

Percikan bunga api menyebar ke empat penjuru mengiringi suara bentrokan nyaring.

Cahaya golok bagai impian, bagaimana dengan sang golok?

Oo0oo oo0oo

Golok tetap adalah sebilah golok.

Ong Siau-sik telah menarik kembali goloknya.

Suara golok yang bening, nyaring, jelas dan menusuk pendengaran.

Menyusul benturan itu, suara golok yang tajam diiringi suara dengusan mengaduh bergema dari balik ruang kereka.

Saat itu seluruh ruang kereta telah roboh, tampak tiga sosok manusia melompat keluar dari balik ruang kereta yang terbelah.

Tiga manusia dengan sorot mata penuh kebencian, menatap Ong Siau-sik tanpa berkedip.

Ke tiga orang itu memiliki perawakan tubuh yang beraneka ragam, tapi ada satu kesamaan diantara mereka semua: pada pinggangnya, dalam genggaman tangannya terdapat golok.

Darah segar tampak mengucur keluar dari telapak tangan salah seorang diantaranya, tangan yang masih menggenggam golok.

Oleh karena tangannya terluka, membuat dia tak sanggup menyarungkan kembali senjatanya ke dalam sarung secara tepat, bahkan butuh bantuan kedua orang rekannya untuk memayang dia dan melompat keluar dari dalam kereta sebelum rubuh.

Oo0oo oo0oo

Ong Siau-sik kenal baik ke tiga orang itu.

Mereka adalah Phang Ceng, salah satu dari Phang-bun-ngo-hau (lima harimau dari keluarga Phang) yang berhasil menguasai ilmu golok Ngo-hau-toan-hun-to (lima harimau pemutus nyawa) hingga puncak kesempurnaan.

Keng-hun-to (golok pengejut sukma) Thiau Lian-thian, cengcu muda dari perkampungan Thiau-kee-ceng.

Serta Beng Khong-khong. Ahli waris dari Siang-kian-po-to (golok mustika perjumpaan).

Tapi, mengapa mereka bisa berada dalam kereta?

Mengapa mereka melancarkan serangan maut kepada Pui Heng-sau, Thio Tan dan Tong Po-gou?

Mereka adalah tiga diantara Pat-toa-to-ong (delapan raja golok) dibawah pimpinan Buan-jiu-hong-im-hu-jiu-yu (tangan sakti pembalik angin dan awan) Pui Siau-hoya, mengapa hari ini mereka semua bisa muncul disitu?

Bab 5. Hidup bagai impian, kenyataan bukan impian.

“Aaah, ternyata kalian bertiga” seru Ong Siau-sik kepada Beng Khong-khong, Phang Ceng dan Thiau Lian-thian, seakan bertemu tiga orang rekan lama, tambahnya, “lukamu tidak berat bukan? Untunglah tidak sampai parah”

Yang dia tanya adalah Phang Ceng, sebab tangannya masih mengucurkan darah.

Ternyata tangannya tidak terluka, darah itu bukan meleleh dari tangannya melainkan mengucur dari balik bajunya.

Namun bajunya pun tidak robek, sedikit robekan pun tak ada. Hanya anehnya darah masih meleleh tiada hentinya, atau dengan perkataan lain, lengannya telah terluka.

Tadi Ong Siau-sik menggunakan golok, tentu luka yang diderita Phang Ceng pun luka sabetan golok.

--------- Tapi, golok itu sama sekali tidak merobek pakaiannya, kenapa lengan itu bisa terluka?

Jangan lagi orang lain, bahkan dua orang jago golok yang berada disamping Phang Ceng: Beng Khong-khong dan Thiau Lian-thian pun tidak habis mengerti.

Bukan hanya mereka tak mengerti, Phang Ceng sendiripun tak jelas apa yang telah terjadi.

Saat ini Phang Ceng benar-benar merasa ngeri, terkesiap, ketakutan setengah mati.

Dia termasuk orang yang tahu diri, disamping diapun orang yang amat percaya diri, kalau bukan begitu, mustahil dia bisa menjadi jagoan lihay yang menonjol dalam Perguruan Ngo-hou-phang-bun.

Selain itu, sejak awal dia pun dapat melihat dengan jelas semua kelemahan dan kekurangan dari permainan Toan-hun-to keluarga Phang, karena itu banyak perbaikan dan perubahan yang telah ia lakukan, bahkan membuat ilmu tersebut lebih berjaya.

Phang Ceng pun tahu, bicara soal ilmu silat, dia masih bukan tandingan dari Lui Sun, So Bong-seng maupun Kwan Jit sekalian, tapi bicara soal ilmu golok, apalagi diseputar wilayah kotaraja, dia yakin kemampuannya sudah masuk dalam jajaran paling top, bahkan dalam dunia persilatan pun kemampuan ilmu goloknya tak bisa dipandang enteng.

Perawakan tubuhnya memang pendek, kecil, tapi orangnya sangat tenang, jarang bicara, apa yang diucapkan selalu dilaksanakan, apa yang dikatakan selalu betul, kalau sedang tidak menyerang, ia bersikap alim, tapi begitu goloknya dicabut, pasti ada batok kepala yang bergelindingan. Dalam setahun terakhir, baru dua kali dia menderita kekalahan.

Bagi seorang jago golok yang hidup demi golok, kekalahan merupakan sebuah aib yang luar biasa.

Tapi dalam dua kali kekalahan yang dideritanya, Phang Ceng merasa amat puas dan takluk, kalah dengan ikhlas.

Pertama kali terjadi pada setahun berselang, dalam kedai arak ditengah hujan badai, ia bertemu Thian-he-tee-jit (nomor tujuh di kolong langit).

Waktu itu dia terluka ditangan Thian-he-tee-jit, malah hingga kini belum jelas senjata apa yang telah melukainya.

Biar begitu, dalam gempuran Thian-he-Tee-jit ternyata dia sanggup mempertahankan nyawanya, malahan sempat selamatkan rekannya, Thiau Lian-thian dari ancaman maut Thian-he-tee-jit.

------- Meski dia kalah dalam pertarungan itu, namun peristiwa tersebut justru melambungkan nama besarnya.

------- Dan hari ini merupakan kali ke dua.

Dia menggunakan golok, Ong Siau-sik pun menggunakan golok. Tapi dalam kenyataan dia keok diujung golok Ong Siau-sik.

Padahal dia selalu mengincar dulu dengan hati hati, menyerang setelah yakin pasti berhasil.

Tadi Beng Khong-khong menyerang ke arah Pui Heng-sau, Thiau Lian-thiang mengincar Thio Tan, sementara dia mengincar Tong Po-gou.

Kenyataannya, Beng Khong-khong gagal menahan Pui Heng-sau, tapi berhasil melukainya.

Biarpun Thiau Lian-thian gagal membunuh Thio Tan, namun cukup membuatnya berdarah darah.

Sedang dia sendiri, sebetulnya dia berencana membunuh Tong Po-gou.

Selama ini dia selalu menganggap Tong Po-gou satu komplotan dengan Thian-he-Tee-jit, sebab malam itu, disaat mereka hendak turun tangan membunuh Thio Tan, Tong Po-gou muncul bersama anak buahnya Thian-he-tee-jit, langsung menyerbu masuk ke dalam kedai.

Coba kalau Thian-he-tee-jit bukan muncul disaat tersebut, serangan itu pasti akan membuahkan hasil, dia pasti dapat “melaksanakan perintah” dengan membunuh Thio Tan dan Tong Po-gou.

Selamanya Phang Ceng tak suka melakukan pekerjaan yang tidak membuahkan hasil, diapun tak suka membuat pekerjaan terbengkalai setengah jalan.

Dia selalu merasa, tidak dapat menyelesaikan suatu pekerjaan sama artinya dengan sebuah penghinaan, sebuah kejadian yang sangat memalukan.

Oleh karena itu dia ingin menggunakan kesempatan kali ini untuk sekalian menghabisi nyawa Thio Tan dan Tong Po-gou.

Tapi sayang, belum sempat melihat jelas golok seperti apa yang digunakan Ong Siau-sik, ia sudah terluka duluan.

Menderita luka yang hingga kini masih belum diketahui penyebabnya dan berasal dari mana.

Kemudian Ong Siau-sik masih mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya.

Mereka berdua seolah dua orang yang berasal dari desa yang sama, bertemu secara tak sengaja di kota besar dan saling menanyakan keadaan.

Untuk sesaat Phang Ceng tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.

Dalam pada itu Ong Siau-sik telah berkata yang lain, kepada Thio Tan ujarnya dengan lembut:

“Aku tak mau pergi, lebih baik kau masuk saja, mari kita minum teh bersama!”

Thio Tan meraba ketiaknya sejenak, darah segar telah menodai pakaiannya, sambil angkat bahu ujarnya:

“Kalau dalam kedaimu tersedia beras, bukan air teh, aku pasti akan masuk ke dalam”

“Kenapa kau harus bersantap nasi?” tegur Pui Heng-sau sambil berpaling.

Mimik muka Thio Tan tak ubahnya seperti seorang kanak kanak:

“Karena aku kehilangan banyak darah, kalau tidak makan nasi, bagaimana mungkin bisa menambah darahku yang telah hilang?”

Pui Heng-sau meraba bahu sendiri, gumpalan darah pun menodai bahunya:

“Kau bisa minum teh, air teh pun dapat menambah darah”

“Minum teh hanya jadi air kencing, tak dapat menambah darah” kata Thio Tan, “masa urusan beginipun tidak kau pahami? Tak heran kalau kau tak sanggup mengalahkan Ong Siau-sik”

“Hei, cara bicaramu betul betul tak tahu adat, persis seperti kebo yang sedang berkubang” teriak Pui Heng-sau dengan kening berkerut, “apa sangkut pautnya urusan ini dengan ketidak mampuan mengalahkan Ong Siau-sik?”

Ternyata dengan begitu santainya mereka berdebat sendiri, seolah olah sudah lupa kalau masih ada tiga orang jago golok yang sedang mengancam di tempat itu.

Thiau Lian-thian sudah tak sanggup menahan diri lagi, dia siap melancarkan serangan.

Tapi Beng Khong-khong justru bertanya lagi dengan nada sungkan:

“Masih ada satu urusan lagi mohon petunjuk dari kalian”

“Katakan saja, akan kujawab” sahut Tong Po-gou.

“Apakah sejak awal kalian sudah tahu kalau kami bertiga bersembunyi dalam kereta?” tanya Beng Khong-khong dengan nada tulus.

“Sama sekali tidak tahu”

“Ooh? Kalau begitu, aku jadi semakin tak mengerti”

“Memang masih banyak urusan yang tak bakal diketahui oleh manusia macam kalian” potong Tong Po-gou kasar.

Ternyata Beng Khong-lhong sama sekali tak menjadi marah, kembali ujarnya:

“Kalau memang begitu, darimana kalian bisa tahu kalau kami berada dalam kereta, bahkan dapat turun tangan secara serempak?”

Sambil mencibirkan bibirnya yang lebar, Tong Po-gou menunjuk ke arah Thio Tan dan berkata:

“Dialah yang mengatakan”

“Dia yang mengatakan?” tanya Beng Khong-khong tertegun.

“Betul, dia mengatakannya persis dihadapan kalian, masa kau tidak mendengar?” tanya Tong Po-gou lebih bangga lagi.

Sementara Beng Khong-kong masih bertukar pandangan dengan Thiau Lian-thian, terdengar Thio Tan berkata pula:

“Benar, tadi aku telah berkata begini: saking lelahnya, sekarang aku hanya ingin mencari sebuah gua, peduli gua itu mau tembus sampai dimana, siapa yang tahan kalau musti hidup setiap hari macam begini? Tak bisa menahan napsu ingin berkelana diluar, tapi tak ingin pula setelah jatuh ke tangan orang, harus duduk menyesal menghadap tembok. Manusia hidup itu dari tak ada menjadi ada, mau musuh atau teman, semuanya sama saja”

Setelah berhenti sejenak, terusnya:

“Masa kau sudah lupa?”

“Ehmm, betul, kau memang berkata begitu” Beng Khong-khong mengangguk.

“Coba kau gabungkan kata pertama dan kata terakhir dari kalimat pertama, kata pertama dari kalimat ke dua, kata terakhir dari kalimat ke tiga, kata pertama dari kalimat ke empat, kata terakhir dari kalimat ke lima, kata pertama dari kalimat ke enam, kata terakhir dari kalimat ke tujuh dan kata pertama dari kalimat ke delapan” timbrung Pui Heng-sau tiba tiba.

Sambil tertawa terkekeh Tong Po-gou menambahkan:

“Kecuali kata terakhir dari kalimat pertama, semua kata pada posisi genap digabungkan kata terakhir maka kami pun segera menemukan serangkaian kalimat yang luar biasa. Hahaha... inilah cara rahasia kami berlima untuk melakukan komunikasi”

Beng Khong-kong termenung sambil mencoba merangkaian kata kata tersebut, akhirnya ia berteriak keras:

“Aaah...... kalau dirangkai, perkataan itu adalah: Jalan darahku tertotok, dibelakangku ada musuh......... tak heran kalau kemudian dia menambahkan lagi dengan perkataan: toako, jiko, samko jangan marah. Kita pernah bersua di rumah makan, ternyata Thio Tan bisa menggunakan cara ini untuk menunjukkan siapa yang mengancamnya secara diam diam, hebat, luar biasa”

“Maaf, maaaf” sahut Tong Po-gou cepat.

Begitu pula dengan Pui Heng-sau, wajah mereka tetap hambar, sama sekali tak terbesit rasa menyesal.

Thio Tan ikut tertawa, katanya:

“Inilah kode rahasia yang biasa dipergunakan di wilayah Ci dan Siang, anggap saja menambah pengetahuan kalian”

“Betul, terima kasih” Beng Khong-Khong mengangguk.

Justru wajah Ong Siau-sik yang terlintas perasaan tercengang bercampur keheranan.

Dalam bentrokannya melawan Phang Ceng tadi, meski kemenangan seolah diperoleh secara gampang, padahal dibalik bacokan goloknya itu, Phang Ceng telah melancarkan tiga kali serangan balik, masing masing mengancam ujung golok, mata golok dan tubuh golok Ong Siau-sik sebelum akhirnya ia berhasil melukai lawannya.

Seorang jago golok yang sesungguhnya, ia mampu melukai lawan baik dengan goloknya, gagangnya, sarungnya maupun kain pembungkusnya.

Hanya saja, untuk melukai Phang Ceng memang bukan satu pekerjaan yang gampang.

Tapi Ong Siau-sik harus berhasil melukainya.

Dalam pertarungannya tadi, dia telah mempertaruhkan segalanya, sebab bila dia gagal melukai Phang Ceng berarti bakal mati diujung golok lawan.

Menghadapi musuh tangguh semacam Phang Ceng, biarpun Ong Siau-sik hanya bertarung satu gebrakan saja, namun sudah timbul perasaan sayang dihatinya, kesan inipun tertanam sangat mendalam terhadap Beng Khong-khong, sekalipun Ong Siau-sik belum sempat bertarung melawannya.

Ia merasa Beng Khong-khong sangat rendah hati, pandai menahan diri, dalam situasi tertentu, dia pandai sekali memanfaatkan peluang dan kesempatan.

Bahkan daya ingatan orang itu luar biasa hebatnya.

Buktinya ucapan Thio Tan yang aneh dan kacau, ternyata dapat dia hapalkan diluar kepala bahkan sejak awal telah mencermatinya.

Terdengar Beng Khong-khong bertanya:

“Kami sengaja menyandera saudara hiotan, sudah jelas sasarannya adalah dirimu, kini kau telah mengetahui rahasia kami, kenapa tidak bertanya apa maksud kedatangan kami bertiga?”

“Kenapa aku harus bertanya?” Ong Siau-sik balik bertanya sambil tertawa.

Lagi lagi Beng Khong-khong tertegun.

“Bila kalian datang untuk mencariku, silahkan saja datang berkunjung ke Jau-sik-cay milikku, datang secara terang terangan dan tak usah memakai tipu muslihat seperti ini, sebab permainan seperti itu tak ada gunanya, sia sia saja. Aku tak bakalan pergi, pun sama sekali tak tertarik”

Setelah berhenti sejenak, lanjutnya:

“Kalau memang begitu, buat apa aku musti tahu maksud kedatangan kalian dan siapa yang memerintahkan kalian datang kemari?”

Sesudah tertawa dan garuk kepala, imbuhnya:

“Begitu saja, maaf tidak kuhantar”

Selesai berkata, dia membalikkan badan masuk ke dalam toko.

Gara gara kejadian ini, banyak orang dijalanan yang datang mengerubung, suasana jadi ramai.

Thiau Lian-thian segera merasa kehilangan muka, tiba tiba bentaknya:

“Manusia she-Ong, berhenti kamu!”

Ong Siau-sik segera berhenti, tegurnya lembut:

“Ada apa?”

Mendadak Tong Po-gou nyelutuk:

“Hei, kau ini, orang suruh kau berhenti langsung saja berhenti, memangnya kau anjing? Coba aku, kalau ada orang suruh aku berhenti, aku sengaja tetap berjalan, orang suruh aku pergi, aku sengaja malah berhenti”

“Aaa, mengerti aku sekarang” seru Thio Tan.

“Mengerti apa?” tanya Tong Po-gou keheranan.

“Kau bukan anjing, ternyata bukan anjing” kata Thio Tan seolah baru mengerti, “rupanya kau seekor kebo, benar benar seekor kebo dungu!”

Melihat kedua orang itu masih niat bergurau dalam situasi seperti ini, dengan penuh amarah Thiau Lian-thian meloloskan goloknya.

“Hahaha..... ada apa?” ejek Tong Po-gou sambil tertawa tergelak, “kau berani membantai orang ditengah jalan?”

“Akan kubunuh dirimu lebih dulu” teriak Thiau Lian-thian sambil mengayunkan goloknya, selapis bianglala berwarna warni bagaikan sebuah jala langsung mengurung tubuh Tong Po-gou.

“Bagus” sahut Tong Po-gou sambil menyongsong datangnya ancaman itu, “sudah lama locu tak pernah berkelahi sampai puas”

Tiba tiba Thio Tan menyikut tubuh Tong Po-gou hingga bergeser ke samping, serunya:

“Bacokan golok ini sangat lihay, biar aku saja yang menghadapinya”

Belum sempat ia menyelesaikan perkataannya, ia sudah ditendang oleh Pui Heng-sau hingga minggir ke samping.

Terdengar Pui Heng-sau dengan menggoyangkan kipasnya berkata:

“Kau tak bakalan mampu menerima bacokan ini, biar aku......”

Tiba tiba bayangan manusia berkelebat lewat, Ong Siau-sik telah menerima bacokan itu.

Dia hanya menyambut datangnya serangan, sama sekali tidak melukai korbannya.

Mau tak mau dia harus menerima serangan itu, sebab dia telah melihat dengan jelas gaya serangan dari Thiau Lian-thian.

Bila Pui Heng-sau yang menyambut serangan itu, mungkin Thiau Lian-thian tak bisa hidup lebih lanjut.

Karena bacokan golok dari Thiau Lian-thian termasuk semacam ilmu golok “kalau bukan kau yang mati, akulah yang mampus”.

Oleh sebab itu serangan semacam ini tak boleh dihadapi dengan kekerasan.

Sama seperti impian, bila terbangun karena kaget, impian pasti sudah buyar.

Mungkin saja menangkis bacokan itu bukan satu pekerjaan yang sulit, ilmu pedang Keng-bong-to milik Thiau Lian-thian kelewat banyak kembangan dan kurang daya serang sesungguhnya, tapi untuk memunahkan serangan tersebut tanpa melukainya benar-benar merupakan satu pekerjaan yang amat sulit.

Sama seperti impian, mana gampang mendusin dari impian tanpa membuyarkan impian itu sendiri?

Kecuali impian adalah kenyataan, kenyataan adalah impian.

Sayangnya, kehidupan manusia bisa saja bagaikan impian, mana mungkin kenyataan merupakan impian?

Bila ingin mengubah impian jadi kenyataan, maka dirimu seharusnya hanya sebuah ilusi.

Sambil busungkan dada Ong Siau-sik menyongsong datangnya bacokan itu, sebab dia yakin dengan menggunakan kelenturan dan kelembutan dari ilmu golok kerinduan, mungkin saja ia dapat menghantar pergi sang impian, namun tidak mengusiknya. Membuyarkan datangnya ancaman tanpa melukai Thiau Lian-thian.

Antara dia dengan Thiau Lian-thian tak pernah terikat dendam sakit hati, buat apa dia harus melukai orang, bahkan membunuhnya?

Apalagi banyak penonton yang mengikuti jalannya peristiwa itu, bila Pui Heng-sau sekalian sampai melakukan pembunuhan, sudah jelas pihak kejaksaan akan mengutus orang untuk melakukan pemeriksaan.

Tentu saja Ong Siau-sik tidak berharap peristiwa semacam itu terjadi.

Karena itulah dia menyambut datangnya bacokan itu.

Dengan menyambut datangnya bacokan itu, sama artinya Ong Siau-sik telah menerima seluruh kesulitan yang bakal terjadi.

Tiba tiba terdengar Thiau Lian-thian menjerit kesakitan, tubuhnya terjengkang ke belakang, darah segar menyembur keluar dari dadanya bagaikan semburan mata air.

Menyusul jeritan lengking Phang Ceng, Beng Khong-khong ikut menjerit kaget:

“Kau si pembunuh keji.........”

Terjadi kegaduhan dan kegemparan ditengah kerumunan orang banyak, untuk sesaat Ong Siau-sik jadi kelabakan, saking bingungnya, bahkan dia sampai lupa menarik kembali goloknya.

“Heran, kenapa bacokan golokku bisa.........”

Baru saja Ong Siau-sik akan melakukan pemeriksaan, sambil meloloskan pedangnya Beng Khong-khong telah membentak nyaring:

“Tega benar kau celakai dia”

Belum lagi Ong Siau-sik menyangkal, tiba tiba tampak serombongan manusia telah meluruk tiba, mereka semua berdandan opas, ada yang menggembol golok, ada yang membawa tongkat.

Seorang opas yang nampaknya sebagai pimpinan segera membentak nyaring:

“Kurangajar benar, berani amat membunuh orang ditengah jalan, petugas! Seret dia ke kantor pengadilan”

“Aaah, korbannya saja belum mati, mana boleh kau tuduh orang melakukan pembunuhan?” sela Pui Heng-sau cepat.

Opas itu mempunyai perawakan tubuh kurus kecil, tapi tampangnya bersih dan cerdik, biar usianya paling muda namun pangkatnya kelihatan paling tinggi.

Dengan mata mendelik besar segera teriaknya kepada Pui Heng-sau:

“Darimana kau tahu kalau dia belum mati?”

“Kau sendiripun belum melakukan pemeriksaan, darimana bisa tahu kalau dia sudah mati?” balas Pui Heng-sau sambil mencibir.

Opas itu segera menarik muka, tiba tiba bentaknya dengan suara dalam:

“Coba kalian lakukan pemeriksaan”

Dua orang opas dibelakangnya segera menyahut dan maju ke depan untuk memeriksa keadaan luka Thiau Lian-thian.

Dengan mata yang tajam opas muda itu tetap mengawasi wajah Pui Heng-sau, tegurnya lagi dengan nada menyeramkan:

“Siapa kau? Siapa namamu?”

“Kenapa aku harus memberitahukan kepadamu?” sahut Pui Heng-sau aras-arasan.

“Kurangajar, manusia macam apa dirimu itu? Toaya sedang melaksanakan tugas resmi, dalam pertarungan dan keributan tadipun kau turut ambil bagian. Hei petugas, seret dulu bajingan ini balik ke kantor”

Pui Heng-sau tertawa dingin, belum sempat ia bereaksi, Tong Po-gou telah menghadang dihadapannya, dari tampang orang ini, tampaknya ia sudah bersiap siap berkelahi lebih dulu.

“Tunggu sebentar” tiba tiba Ong Siau-sik menyela, “akulah yang melukai orang itu, aku pula yang membuat keonaran disini, bila ingin tahu duduknya perkara, bawa aku kembali ke kantor, jangan kalian usik orang orang yang tak bersalah”

“Ooh begitu?” opas itu membalikkan badan, ditatapnya Ong Siau-sik sekejap, lalu ejeknya, “memangnya kau bersedia ikut aku kembali ke kantor?”

Ong Siau-sik manggut-manggut.

“Sekalipun aku bersedia ikut kalian, sayang ada semacam benda yang menolak” sahutnya dingin.

Hawa permusuhan segera terpancar dari balik mata opas muda itu, sambil meraba gagang goloknya dia berteriak:

“Bagus, aku sudah tahu, aku sudah tahu......”

“Apa yang kau ketahui?” tukas Ong Siau-sik dengan nada mengejek.

“Aku tahu, kau minta aku bertanya dulu kepadanya”

“Bertanya kepadanya?”

“Kalau bukan golokmu, tentu pedang milikmu!”

“Salah!” tukas Ong Siau-sik tegas, sambil membuka baju bagian dadanya ia berseru, “lencana bebas dari kematian berada disini, barangsiapa berani menyentuhku, tanya dulu kepadanya”

Opas itu terperanjat, begitu melihat lencana itu, buru buru ia jatuhkan diri berlutut.

Dalam waktu singkat bukan Cuma anak buahnya saja, bahkan semua orang yang hadir disana ikut berlutut.

Bab 6. Akibat memasuki Jau-sik-cay.

Buru buru Ong Siau-sik menutup kembali pakaiannya seraya berseru:

“Jangan berlutut terus, aku hanya bergurau, jangan membuat rakyat ketakutan”

Saat itulah sang opas baru berani bangkit berdiri, omelnya dengan jengkel:

“Karena kau punya lencana bebas dari kematian yang diberi Kaisar, tentu saja aku tak berani mengusik dirimu......”

“Hehehe..... makanya” sela Pui Heng-sau setengah menyindir, “karena lencana bebas kematian berada disini, biar jaksa agung si gendut Si datang sendiripun, belum tentu dia mampu memboyong pergi batu kerikil itu”

Kelihatannya opas itu masih merasa tidak puas, katanya:

“Setahuku, lencana semacam itu hanya ada lima biji”

Sekali lagi Pui Heng-sau menyela:

“Sekeping ada ditangan Ibu suri, satu lagi berada ditangan Pui siau hoya, dua keping lainnya satu untuk Coa thaysu yang menguasai seluruh pemerintahan sipil, satu lagi ditangan Cukat sianseng yang mengepalai bidang kemiliteran, masih ada satu lagi...........”

Bicara sampai disini tiba tiba ia berpaling ke arah Ong Siau-sik sambil bertanya:

“Bukankah yang sekeping lagi milik So Bong-seng, So locu?”

“Tepat sekali” jawab Ong Siau-sik.

Kembali opas itu mendengus dingin.

“So kongcu rela menyerahkan lencana bebas kematian yang lebih berharga daripada nyawa sendiri kepadamu, hal ini menunjukkan kalau dia sangat mempercayaimu, tak heran kau pun begitu setia dan taat kepada dirinya”

Ong Siau-sik menjengek dingin.

“Aku bukan anak buah Mo Pak-sin, akupun tidak punya payung, kepalaku selalu berambut, diatas rambut selalu ada langit.....”

“Hmm, kau melukai orang hingga mampus tapi tak pernah mau menjalani hukuman, inikah yang kau sebut membela hukum?” sindir opas itu tertawa dingin.

“Eei, nanti dulu, siapa yang telah kulukai?” tiba tiba Ong Siau-sik balik bertanya.

Opas itu melengak, sambil menuding ke arah Thiau Liau-thian yang berdarah serunya:

“Kau taruh ke mana matamu?”

“Mata dia? Tentu saja ditempatnya” seseorang menyahut secara tiba tiba dari balik kerumunan orang banyak.

Entah sedari kapan, Thio Tan telah menyelinap ke balik kerumunan orang banyak dan bergerak menghampiri tempat dimana Thiau Liau-thian berbaring, begitu bersuara, kedua jari tangannya langsung ditusukkan ke arah sepasang mata orang itu.

Perubahan ini terjadi sangat mendadak, waktu itu Beng Khong-khong sedang pusatkan konsentrasi untuk menghadapi Ong Siau-sik, Phang Ceng terluka, sedang kawanan opas itupun tak sempat menghalangi Thio Tan, ingin menolong tak bisa, mau mencegah pun tak sempat.

Tampaknya sepasang mata Thiau Liau-thian segera akan tertusuk oleh Thio Tan......

Tiba tiba Thiau Lian-thian meraung keras, badannya melambung ke udara, sabetan goloknya bagaikan gumpalan awan langsung balas membabat Thio Tan.

Sambil berteriak keras Thio Tan mundur ke belakang, jeritnya:

“Nah, tidak salah lagi, sekarang kalian sudah melihatnya bukan?”

Begitu melihat thiau Lian-thian mencabut goloknya sambil melancarkan serangan, paras muka opas itu seketika berubah hebat, dia seperti merasa malu.

“Hahaha... ternyata luka yang dideritanya tidak seberapa parah” kata Ong Siau-sik pula.

“Perduli bagaimana keadaan lukanya, mau parah mau ringan, berkelahi ditengah jalan jelas merupakan pelanggaran hukum” teriak opas itu sambil menarik muka.

“Bukankah bukan hanya aku seorang yang berkelahi? Kenapa tidak kau gusur pula orang orang itu?” protes Ong Siau-sik.

Opas itu tertawa dingin.

“Darimana kau tahu kalau aku tak akan menangkap mereka? Sebetulnya aku berencana membekukmu lebih dulu, aku yakin tak seorangpun diantara mereka yang mampu kabur dari sini”

“Boleh tahu siapa namamu?” tiba tiba Ong Siau-sik bertanya.

“Aku dari marga Liong”

“Ooh, jadi kau adalah Liong Jui-jui?” tanya Ong Siau-sik lagi sambil angkat alis matanya.

Terlintas rasa girang diwajah opas itu.

“Aaah, tak nyana kaupun pernah mendengar nama kecilku”

Dengan wajah bersungguh sungguh ujar Ong Siau-sik lagi:

“Nama besar empat opas sudah tersohor diseantero jagad, nama besar empat opas kecil pun sangat termashur, Kwik Sang-him, Le Su-ji, Su Ci-siu, Liong Jui-jui merupakan opas opas kenamaan yang baru muncul bahkan aku dengar kau adalah anggota termuka yang paling menonjol”

“Mungkin dikarenakan sebab inilah, hingga sekarang aku belum sampai mampus” jawab opas muda itu dengan nada sedikit bangga.

Empat opas kecil terdiri dari Kwik, Le, Su, Liong yang tergabung menjadi “empat kecil”, tapi sayang Kwik Sang-him tewas dalam kasus “Pertarungan besar”, Le Su-ji tewas ditangan Bok Kiu-peng dalam kasus Benteng Lian-im-cay, sedang Su Ci-siu tewas dalam kasus “Penghianatan” (semua kasus itu dapat dibaca dalam serial 4 opas).

Kini dari ke empat opas kecil yang sangat tersohor itu, tersisa dia seorang yang masih hidup, tak heran opas itu nampak bangga ketika diungkit Ong Siau-sik.

“Urusan mati hidup ada sangkut pautnya dengan kemampuan, soal usia malah tidak seberapa penting, kalau tidak, bukankah empat opas yang sesungguhnya sudah mati sejak berapa puluh tahun berselang?” kata Ong Siau-sik, “mungkin masalah hidup mati berhasil atau gagal ada sangkut paut yang sangat erat dengan nasib dan kemujuran seseorang”

Setelah berhenti sejenak, dengan wajah serius tiba tiba tambahnya:

“Sekalipun kau termasuk salah satu dari empat opas kecil, memangnya berani kau abaikan lencana bebas kematian?”

Dengan perasaan jengkel Liong Jui-jui menghentakkan kakinya ke atas tanah, lalu teriaknya:

“Kita pergi!”

Rombongan kaum opas itu segera menyahut dan mundur dari situ dengan perasaan tak puas, tampaknya mereka bakal melampiaskan perasaan kesalnya terhadap rakyat kecil yang tak berdosa.

Sambil mengawasi bayangan orang orang itu, kembali Ong Siau-sik menghela napas panjang.

“Aaai, bukankah kalian semua telah datang? Kenapa tidak segera menampakkan diri?”

“Hahahah.. ternyata tak bisa mengelabuhi dirimu” kata Beng Khong-khong sambil tertawa.

“Kalian ada yang datang secara terang ada juga datang secara gelap, cara lembek cara kekerasan digunakan semuanya. Aku lihat sepertinya kalian ingin paksa aku harus pergi bersama kalian”

Dari belakang Beng Khong-khong segera bermunculan lima orang.

Begitu ke lima orang itu munculkan diri, kerumunan orang yang menonton keramaian pun segera bubar, bahkan pergi dengan begitu cepat dan bersih dalam waktu singkat.

Alasannya sederhana sekali:

Sebelum kemunculan ke lima orang itu, orang berdatangan untuk nonton keramaian.

Dimana terjadi berkelahian biasanya akan banyak orang berdatangan, karena perkelahian selalu dianggap kebanyakan orang sebagai suatu “keramaian”.

Orang memang senang nonton keramaian.

Tapi dengan kemunculan ke lima orang itu maka suasana pun jadi berubah, tak ada keramaian lagi yang bisa ditonton, sebaliknya yang tersisa hanya hawa pembunuhan yang menggidikkan.

Biasanya hanya jago jago lihay yang pandai membunuh orang baru dapat merasakan hawa pembunuhan dari lawannya.

Semakin tinggi ilmu silat seseorang, semakin pekat hawa pembunuhannya.

Namun apabila ilmu silat seseorang telah mencapai tingkatan yang luar biasa, biasanya malahan tak memiliki hawa pembunuhan lagi.

Hawa pembunuhan itu berasal dari tubuh ke lima orang itu, bahkan rakyat kota Kay-hong yang belum pernah berlatih silat atau orang yang belum pernah berkelahi pun dapat merasakannya.

Hawa napsu membunuh yang menyayat kulit, membelah dada, membacok wajah, menusuk tulang, merasuk tulang....... seolah-olah terdapat sebilah pisau tanpa wujud yang menghujam di tenggorokan mereka.

Dalam keadaan begini, terpaksa mereka harus menyingkir secepatnya, mereka tak ingin keluarganya harus menangisi tubuh mereka yang terkapar bersimbah darah.

Oo0oo oo0oo

Beng Khong-khong masih berkata dengan nada sopan dan lembut:

“Kalau memang begitu, sudah tahu harus pergi juga, mengapa tidak ikuti kami saja pergi sejenak ke sana”

“Padahal asal kalian ada urusan, cukup kirim pemberitahuan kepadaku, tak mungkin aku tak akan melayaninya” kata Ong Siau-sik, “tapi sayang aku paling tak suka dengan cara yang kalian gunakan, mula mula menyandera teman, kemudian menggerakkan kaum opas untuk membuat keonaran........”

Semenjak aktingnya berpura pura mati terbongkar, thiau Lian-thian sudah ingin sekali turun tangan, segera teriaknya:

“Kami mengundang secara baik baik, kau malah menolak, itu namanuya diberi arak kehormatan tak mau, malah memilih arak hukuman. Hmm, jangan salahkan lagi kalau kami bertindak keji”

Ong Siau-sik tertawa.

“Benar, andaikata aku terbunuh ditangan kalian, siapa pun tak ada yang menyalahkan kamu semua, siapa suruh aku tidak mengikuti para opas itu untuk bertandang di kantor pengadilan, disana tak bakalan ada orang yang mengungkit tentang lencana bebas mati, sedang aku paling mati dibacok banyak orang, kematian yang tak ada hubungannya dengan pihak pemerintah, tak akan menyalahkan kaum opas, sebaliknya bila mati ditangan kalian, aku hanya bisa menyalahkan langit, menyalahkan bumi, menyalahkan rembulan, matahari, tapi tak dapat menyalahkan kalian”

“Tepat sekali perkataanmu itu, kau memang pintar” puji Beng Khong-khong sambil tertawa.

“Bagaimana seandainya aku yang berhasil membunuh kalian?” tiba tiba Ong Siau-sik bertanya sambil tertawa.

“Hahahaha.... memangnya kau sanggup membunuh kami?” jengek Thiau Lian-thian sambil tertawa nyaring, kini nyali dan keberaniannya semakin berkobar, “kau anggap delapan raja golok dari kotaraja dapat dibunuh seenaknya?”

Ong Siau-sik segera menarik kembali senyumannya, sambil meraba gagang golok lengkungnya, ia berkata dengan nada berat:

“Aku memang ingin menjajal kemampuanmu”

Begitu ucapan tersebut diutarakan, ke lima orang jago golok itu serentak mencabut keluar senjatanya.

Thiau Lian-thian langsung melancarkan serangan lebih dahulu, selama ini goloknya memang selalu berada dalam genggaman.

Ia tahu, asal serangan dilancarkan, niscaya ke lima orang jago golok yang berdiri di belakangnya serentak akan menyerang pula dan menopang dirinya.

Beng Khong-khong telah meloloskan pula goloknya.

Sudah tidak banyak urusan yang bisa memaksa mereka berdelapan mencabut goloknya bersama sama, apalagi memaksa mereka berdelapan mencabut goloknya hanya gara gara untuk menghadapi seseorang, kejadian semacam ini nyaris sudah tinggal legenda.

Tapi hari ini, didepan gedung Jau-sik-cay, delapan golok telah diloloskan bersama, dan sasaran yang harus mereka hadapi pun hanya seorang, Ong Siau-sik.

Lima orang jagoan yang datang belakangan mempunyai nama besar jauh diatas kehebatan Thiau Lian-thian.

Salah seorang diantaranya, manusia bermarga Biau justru memiliki golok yang mirip besi rongsok, badan goloknya sudah berkarat, mulut golok gumpil, biar begitu, belum pernah ada orang yang berani pandang enteng kemampuan orang ini, khususnya pedang yang berada dalam genggamannya.

Golok miliknya memang jelek, tak sedap dipandang, apalagi tampang wajahnya, amat jelek, membuat perut siapa pun jadi mual bila melihatnya.

Tapi sayang golok miliknya bukan sebilah senjata tontotan, bukan senjata yang hanya bisa dipandang.

Jurus golok miliknya yang paling ternama adalah jurus Pat-hong-ciong-to-si (gaya sembunyi golok di delapan penjuru), kehebatan jurus tersebut konon bisa mengalahkan jago pedang nomor wahid saat itu, memaksa dia bunuh diri didalam markasnya, apalagi dia bermarga Biau.

Nama besar Biau Pat-hong sudah menggetarkan delapan penjuru, tapi jago golok lainnya, Coa Siau-tau justru sejak kecil hidup dipedalaman, sejak digali bakatnya oleh Pui Ing-gan, belum pernah ia tinggalkan tempat tinggalnya barang selangkah pun.

Namun Biau Pat-hong tak pernah berani mengandalkan ilmu Ciong-liong-to (golok naga sembunyi) miliknya untuk menantang duel golok Leng-ting-to milik Coa Siau-tau.

Terkecuali Siau Sat.

Hanya ilmu golok toa-kay-thian (membuka langit lebar) dan Siau-pit-te milik Siau Sat yang dapat mengendalikan ilmu golok milik Coa Siau-tau.

Ilmu golok milik Siau Sat bukan hanya bagus, bukan hanya menakutkan, bukan hanya lihay, bahkan sangat mematikan.

Setiap bacokan goloknya pasti membawa kematian, bila bacokan pertama tidak membawa hasil, bacokan berikut pasti dapat menghabisi lawannya.

Ilmu golok milik Siau Pek justru merupakan kebalikannya.

Siau Pek dari Siangyang adalah kakak sulung Siau Sat.

Ilmu golok yang dimiliki dua bersaudara ini sama sekali berbeda, masing masing berasal dari perguruan yang berbeda. Ilmu golok andalan Siau Pek disebut Jit-cap-it-ke-jin (tujuh puluh satu famili).

Namanya memang kedengaran lembut, lembut dan hangat hingga sama sekali tak pantas dipakai sebagai nama sebuah ilmu golok.

Tapi bagian yang paling menakutkan dari ilmu golok itu justru karena kelembutan dan kehangatannya.

Dia dapat merenggut nyawamu dalam kelembutan dan kehangatan, dapat memenggal batok kepalamu tanpa kau sadari apa sebenarnya yang telah terjadi.

Hanya saja, baik Coa Siau-tau maupun Biau Pat-hong, Siau Sat serta Siau Pek, mereka semua sangat takluk dan kagum terhadap dua orang jago golok lainnya.

Yang satu tentu saja Beng Khong-khong.

Sementara yang lain adalah Yau Lan-yong.

Yau Lan-yong adalah seorang wanita.

Dia adalah keturunan dari raja golok Yau Ciu-si, sejak kekalahannya dalam pertarungan dibukit Go-bi melawan pendekar besar Siau Ciu-sui (lihat serial pendekar setia), Yau Lan-yong tidak lagi mencari nama dengan mengandalkan golok mestika, tapi meraihnya dengan berlatih tekun ilmu golok miliknya.

Ia berhasil menciptakan serangkai ilmu golok yang disebutnya sebagai Tin-yu-ji-pwee (barisan hujan dua puluh delapan).

Konon setelah dia ciptakan ilmu golok tersebut, selama tiga tahun, tak seorang manusiapun dalam dunia persilatan yang berani menciptakan ilmu golok macam apa pun, sebab sama sekali tak ada gunanya.

Semua orang mengatakan, raja golok wanita Yau Lan-yong telah mengasah ilmu goloknya hingga puncak yang paling top.

Dan sekarang, ahli waris dari ilmu golok keluarga Biau, Biau Pat-hong bersama Coa Siau-tau dari perguruan Leng-teng-to, dua bersaudara Siau dengan ilmu golok keras dan lembeknya, Thiau Lian-thian ahli waris ilmu golok penghancur impian dari perkampungan keluarga Thiau, Phang Ceng si jago paling tangguh dari Ngo-hau-phang-bun, ditambah lagi keturunan si raja golok Yau Lan-yong dan ahli waris golok mestika pertemuan Beng Khong-khong semuanya berkumpul disatu tempat, delapan bilah golok siap menjagal nyawa Ong Siau-sik secara bersama sama.

Ada berapa banyak nyawa yang dimiliki Ong Siau-sik sehingga dia mampu membendung golok golok maut yang semuanya cukup menggetarkan sungai tenaga dan sulit dilawan itu?

Ong Siau-sik pun memiliki golok, goloknya adalah golok kerinduan.

Golok kerinduan dengan ilmu golok kerinduan.

Ketika mempelajari ilmu golok kerinduan, Ong Siau-sik pun mempunyai pengalaman yang unik.

Tentu saja ilmu goloknya berasal dari ajaran Thian-ie Kiesu, tapi bisa juga dikatakan sama sekali bukan. Kenapa bisa dikatakan begitu?

Alasannya ada dua.

Pertama, karena cara Thian-ie Kiesu mewariskan ilmu silatnya bukan diutamakan dengan mengajar, tapi memberi petunjuk, dia tak ingin muridnya ikut lambat bila ia lambat, ikut cepat bila ia cepat, tapi berkembanglah sesuai dengan kodratmu.

Kedua, karena Ong Siau-sik memiliki bakat alam yang luar biasa, setiap kali mempelajari sesuatu, ia dapat memusatkan seluruh perhatiannya untuk berkonsentrasi, dalam waktu yang paling cepat membentuk pondasi yang kuat, kemudian mengembangkan menurut daya kemampuan sendiri. Bila ia gagal mencapai suatu tingkatan yang luar biasa maka ia rela berhenti untuk beralih mempelajari ilmu yang lain.

Dibawah bimbingan guru yang bijaksana ditambah sang muridpun memiliki kecerdasan yang luar biasa, tentu saja kepandaian silat yang dimiliki Ong Siau-sik dapat mencapai tingkatan yang luar biasa, karena pada dasarnya kungfu yang dimiliki Thian-ie kiesu memang kelewat hebat.

Thian-ie kiesu sendiri bersama Cukat sianseng, Lan-jan thaysu dan Goan-si-sam-heng sesungguhnya merupakan empat opas tua, dimana pada masa tuanya masing masing hidup secara terpisah.

Lan-jan thaysu adalah toa-suheng, sebelum jadi pendeta ia bernama Yap Ai-sian, kemudian lantaran melakukan pelanggaran besar maka diapun mencukur rambut jadi pendeta dan hidup mengasingkan diri sebagai seorang padri.

Thian-ie Kiesu adalah ji-suheng, pandai ilmu pertabiban, ilmu perbintangan, pandai main khiem, catur, kaligrafi maupun lukisan, dia pun menguasahi ilmu siasat dan ilmu sakti lainnya, kehebatannya mengatur strategi perang jauh diatas kemampuan sam sutenya, Cukat sianseng, bicara soal ilmu silat, mungkin Lan-jan thaysu sendiri pun tak dapat menandingi.

Sayangnya, Thian-ie kiesu memiliki perawakan serta kondisi badan yang terbatas, dia lemah, kurus, kecil dan penyakitan, oleh karena itu ilmu silatnya tak dapat dikembangkan lebih jauh.

Didalam hal ini, diapun ketinggalan jauh bila dibandingkan kemampuan Cukat sianseng.

Sebagai orang yang tak senang mencampuri urusan dunia, Thian-ie kiesu hidup jauh dari keramaian dunia, dia pusatkan seluruh kekuatan dan perhatiannya untuk mewariskan semua kepandaian yang dimilikinya kepada sang ahli waris.

Berbeda dengan saudara seperguruan lainnya, hubungan antara Cukat sianseng dengan sute ke empatnya Goan Capsa-heng justru saling berseberangan.

Sebagai seorang menteri yang membidangi politik, Cukat sianseng selalu berdiri berseberangan dengan sang perdana menteri Coa Keng (Jay Cin), karena itu Coa Keng menggunakan Goan Capsa-heng untuk menghadapinya.

Maka pertikaian dan persaingan yang berlangsung dalam pemerintahan pun merembet hingga ke dalam dunia persilatan.

Selama ini Cukat sianseng selalu menjalankan peranannya dengan prinsip “mengatasi setiap masalah sesuai dengan keadaan”, dia selalu tegas terhadap kaum laknat, melindungi kaum ksatria.

Tapi sayang kekuatan Coa Keng sangat hebat, dia membagi setiap distrik dengan satu pimpinan yang membawahi dua puluh laksa tentara, kekuasaan militer yang begitu besar membuat gerak gerik Cukat sianseng jadi terbelenggu.

Dalam keadan begini, ke empat muridnya yakni empat opas hanya bisa berjuang mati matian untuk mendobrak dan menegakkan keadilan ditengah pengaruh perdana menteri yang lalim dan busuk.

Semenjak kedatangan Ong Siau-sik ke kotaraja, hingga kini dia belum sempat bertemu Cukat sianseng, tidak pula menyambangi Goan Capsa-heng, baginya, orang orang tersebut merupakan tokoh tokoh sakti dalam cerita dongeng.

Dan sekarang, dia sendiripun sudah menjadi salah satu bagian dari tokoh dalam dongeng itu.

Ketika Thian-ie Kiesu mengajarkan ilmu golok kerinduan kepadanya, iapun berlatih dengan sungguh hati, suatu ketika Thian-ie Kiesu berkata demikian kepadanya:

“Aku adalah golok kerinduan kecil, kaulah golok kerinduan besar”

“Masa kerinduanpun dibedakan besar dan kecil?” tanya Ong Siau-sik keheranan.

“Ada” jawab Thian-ie kiesu sambil tersenyum, “kerinduan kecil hanya gejolak perasaan seseorang, hanya berada dihati seseorang, sedih, senang, berhasil, gagal, semua itu sudah merupakan masalah besar. Tapi sedih gembira gagal berhasilnya umat manusia dalam jagad inilah merupakan kerinduan besar yang sesungguhnya, bila kau memikirkan hal itu maka ilmu silatmu baru akan mencapai tingkatan yang luar biasa”

Ilmu golok semacam inilah yang dilatih Ong Siau-sik, dengan ilmu golok semacam inilah sekarang dia harus menghadapi delapan orang jago golok terhebat dikolong langit, dapatkah ia menaklukkan lawan lawannya? Dapatkah dia meraih kemenangan?

Pat-toa-to-ong atau delapan raja golok merupakan delapan pengawal paling andalan dari Siau-ho-ya Pui Eng-gan, bahkan Goan Capsa-heng sendiripun pernah berkata begini:

“Bila delapan golok bersatu padu, tiada musuh yang dapat menandingi”

Dengan mengandalkan goloknya, mampukah Ong Siau-sik menghadapi mereka?

Dengan sebilah golok, sanggupkah dia menghadapi delapan bilah golok? Dapatkah membendung delapan bilah golok yang nama besarnya telah menggetarkan sungai telaga?

Jawabannya adalah: tidak tahu.

Sebab Ong Siau-sik tidak mencabut goloknya, senjata yang digunakan adalah sebilah pedang.

Sebelum mengeluarkan pedangnya, ia mundur lebih dulu, mundur dengan cepat.

Delapan bilah golok segera mengejar dan menempel dengan ketatnya.

Kini golok mereka telah diayunkan ke muka, kekuatan serangan yang ditimbulkan dahsyat bagaikan gulungan ombak ditengah samudra, kekuatan yang sukar dibendung, kedahsyatan yang sukar dipecahkan.

Mereka mengejar dan merangsek terus, mendesak semakin ke depan.

“Bila golok telah diayunkan, musuh harus terbabat mati diujung senjata, tak boleh meleset!”

Mimpi pun mereka tidak menyangka Ong Siau-sik berani seorang diri menghadapi serbuah delapan bilah golok.

Mereka terlebih tak menyangka kalau senjata yang dicabut Ong Siau-sik adalah sebilah pedang, bukan sebilah golok.

Mereka lebih lebih tak menyangka kalau Ong Siau-sik, setelah mencabut pedangnya, ternyata mundur tanpa bertarung.

Begitu mundur, dia langsung mundur masuk ke balik pintu gedung Jau-sik-cay.

Yang lebih tak mereka sangka adalah akibat setelah mengejar masuk ke dalam gedung Jau-sik-cay.

Bab 7. Seorang ksatria tak boleh dihina.

Pui Eng-gan memiliki tiga belas orang pengawal andalan.

2 komentar: